Kamis, 19 Agustus 2010

PROMOTING CITIZEN ENGANGEMENT AND MEDIA PARTICIPATION IN SUSTAINING THE INITIATIVES TO DEVELOP INTEGRITY AND ACCOUNTABILITY IN PUBLIC PROCUREMENT

BACKGROUND

Dasar pemikiran dibentuknya daerah otonom menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain hal tersebut, juga diharapkan dapat terwujudnya peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokratisasi, pemerataan, keadilan, kekhususan dan potensi daerah serta tertib administrasi pemerintah daerah.

Harapan dari adanya otonomi daerah dalam Peningkatan Kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan publik dan peningkatan daya saing daerah akan tercapai jika perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pemerintah serta pembangunan dilakukan melalui tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dan Pemerintah yang bersih (clean Government). Namun kenyataannya harapan tersebut masih jauh dari harapan. Terbukti masih banyaknya praktek KKN diberbagai bidang yang menyebabkan kebocoran anggaran dan banyaknya kebijakan dan regulasi yang tidak pro public dan berpotensi menurunkan daya saing daerah.

Praktek KKN yang sering terjadi salah satunya dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Data menunjukan bahwa pada tahun 2008 terdapat 28.000 kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 70%-80% dari total kasus itu adalah penyimpangan di bidang penyediaan barang atau jasa. Sementara, hasil kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam Country Procurement Assessment Report (CPAR) tahun 2001 menyebutkan kebocoran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebesar 10-50 persen. Lebih spesifik, Direktur Eksekutif Indonesia Procurement Watch Budihardjo Hardjowiyono menyebutkan bahwa kebocoran anggaran belanja modal ditaksir mencapai 35 persen dari nilai anggaran. Kebocoran ini berimplikasi pada rendahnya kualitas pelayanan public yang menjadi kewajiban pemerintah.

Bahkan, Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional Indonesia, pada tahun 2008 menunjukan bahwa Indonesia termasuk negara dengan IPK sangat rendah yang menempatkan Indonesia pada posisi 126 dari 180 negara. Angka IPK ini memang naik 0,3 point dari 2,3 [2007] menjadi 2,6 [2008], tetapi posisi Indonesia tetap masih di bawah negara-negara seperti Samoa, Tunisia, Ghana, Colombia, Gabon, dan Guatemala.

Dari aspek peningkatan daya saing daerah, otonomi daerah pun belum mampu meningkatkan daya saing daerah otonom. Hal ini karena kebijakan atau regulasi yang ada cenderung menghambat tumbuhnya iklim investasi di daerah yang bersangkutan. Salah satu faktornya adalah rumitnya pengurusan izin usaha sebagai langkah awal dalam memulai dan mengembangkan usaha.

Berdasarkan beberapa hasil studi yang telah dilakukan berbagai pihak, menunjukkan betapa rumitnya perizinan di Indonesia. misalnya biaya untuk mengurus izin usaha mencapai 3% sampai 10% dari modal usaha (Andadari, 1997), proses perizinan membutuhkan waktu 151 hari dengan biaya 104 USD (Bank Dunia; 2006), pungutan liar mencapai lebih dari 300% (Rustiani, TAF, 2000), biaya per prosedur setara dengan 194 USD, waktu menunggu keluarnya ijin mencapai 10 bulan. Hal tersebut berpotensi menghilangkan laba bersih sekitar 1.036 USD atau sekitar 90% dari total biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah usaha kecil (de Soto, 1992). Dapat disimpulkan bahwa masalah utama perizinan yang dihadapi di daerah adalah terlalu banyak izin, terlalu lama dan berbelit-belit, dan mahal.

Selain rumitnya perizinan, faktor lain yang dianggap menghambat perkembangan investasi adalah banyaknya peraturan-peraturan yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang menghambat iklim investasi di daerah dan berefek terbalik di tengah harapan bahwa pemerintah daerah seharusnya melakukan perbaikan kebijakan investasi dalam upaya pengembangkan lapangan kerja. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut masih tumpang tindih antara satu dengan lainnya.

Kondisi-kondisi diatas tersebut secara nyata mempengaruhi rendahnya kualitas pelayanan public dan rendahnya daya saing daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya B_Trust terdorong untuk meminimalisir kondisi-kondisi tersebut dengan melakukan berbagai aktifitas. Mulai dari penelitian hingga Technical assistance kepada beberapa pemerintah daerah.

Procurement reform

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan fairness, Accountability, Transparance, Efektive/efficiency, dan keterbukaan dalam praktek pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam Keputusan Presiden no.80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/jasa Pemerintah. Upaya tersebut dilakukan B_Trust sejak tahun 2008 hingga saat ini dengan mendampingi Pemerintah Kota Cimahi, Kabupaten Indramayu dan Purwakarta untuk membentuk Pusat layanan Pengadaan (procurement centre)

Proses pembentukan unit ini di mulai dengan penguatan komitmen, penataan kelembagaan, Perumusan Kebijakan system/prosedur, rekruitmen SDM, sarana/prasarana hingga penerapan system elektronik procurement dalam seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Seluruh proses tersebut dilakukan secara partisipatif yang melibatkan aparat pemerintah, dan juga masyarakat/cso.

Komponen masyarakat yang terlibat secara partisipatif dalam kegiatan ini adalah asosiasi usaha, pelaku usaha, dan organisasi kepemudaan. Keterlibatan cso dalam proses pendampingan ini diawali sejak tahapan persiapan hingga sosialisasi. Sebagai contoh dalam pelaksanaan penelitian baseline survey, B_trust melibatkan organisasi kepemudaan untuk membantu melakukan survey tersebut. Sementara responden dari pelaku usaha, B_Trust juga bekerjasama dengan asosiasi usaha ditingkat local untuk mendapatkan kemudahan dalam mengakses dan mengumpulkan data perusahaan yang akan dilibatkan dalam survey ini. Selanjutnya setelah survey dilakukan, untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata tentang kondisi pengadaan, BTrust juga melakukan FGD validasi data, dimana peserta kegiatan ini dintaranya adalah pelaku usaha dan cso lainnya.

Hasilnya, saat ini telah terbentuk Pusat Pelayanan Pengadaan Barang/Jasa (P3BJ) di pemerintah kota Cimahi, Unit Layanan Pengadaan (ULP) di pemerintah Kabupaten Indramayu dan Pusat Layanan pengadaan (PLP) di pemerintah Kabupaten Purwakarta. Bahkan proses tersebut juga telah mendorong pemerintah kabupaten purwakarta untuk menggunakan system elektronik (e-proc) dalam seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa. Penggunaan e-proc ini salah satunya bertujuan untuk meminimalisir “ruang interaksi” antara panitia pengadaan dengan rekanan yang biasanya melahirkan KKN.

Bagian penting lain yang telah dilakukan B_Trust dalam konteks pendampingan ini adalah melakukan peningkatan kapasitas SDM, baik bagi pemerintah daerah (bagi PPK dan pegawai procurement centre) maupun bagi Penyedia barang/jasa. Pelibatan penyedia jasa dalam kegiatan ini adalah bagian dari upaya B_Trust dalam memberikan perhatian kepada penyedia barang/jasa lokal sehingga meningkatkan kemampuan teknis dalam mengikuti pelelangan.

Namun upaya-upaya yang dilakukan B_Trust tersebut belum sepenuhnya memuaskan, karena masih terdapat kekurangan yang harus segera diselesaikan. Salah satu yang paling mendasar adalah perlu adanya peraturan yang lebih tegas dari pemerintah pusat yang mengatur tentang bentuk kelembagaan, anggaran, serta status kepegawaian panitia yang bekerja di ULP. Hal ini karena Kepress 80/2003 yang menjadi dasar satu-satunya pembentukan ULP didaerah tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal tadi. Disisi lain, pembentukan ULP didaerah juga dibatasi oleh berbagai peraturan lainnya salah satunya adalah PP 41/2007 yang membatasi pembentukan organisasi didaerah harus berdasarkan jenis urusan yang menjadi kewenangan daerah tersebut. Sementara itu kegiatan pengadaan tidak termasuk dalam kategori urusan seperti yang dimaksud dalam peraturan tersebut. Kondisi ini juga menjadi salah satu penyebab bagi daerah lain untuk “menunda” pembentukan ULP.

Selain itu, penyelenggaraan pengadaan barang/jasa yang baik dan bersih dari praktek-praktek KKN memerlukan dukungan dari masyarakat. Dukungan yang dimaksud adalah untuk menjamin bahwa ULP yang telah dibentuk tidak menyimpang dari harapan. Oleh karenanya pelibatan masyarakat/CSO/asosiasi usaha dalam melakukan monitoring dan evaluasi sangat penting, sehingga ULP dapat terus berjalan sesuai dengan tujuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. komentar, kritik, saran, atau apapun dipersilahkan..