Kamis, 19 September 2013

Peningkatan Pelayaan Publik melalui Public Complaint handling: Sebuah Tantangan


Otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik dengan mendekatkan pemberi layanan dengan masyarakat sebagai yang dilayani. Namun semangat penyerahan kewenangan pusat kepada daerah melalui penyerahan kewenangan tersebut bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan kualitas layanan. Pola komunikasi yang beku antara pemberi layanan dengan masyarakat sebagai penerima layanan seringkali menjadi faktor utama terjadinya ketidak tepatan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan itu sendiri.

Peningkatan kualitas pelayanan publik hanya bisa terwujud oleh adanya keterbukaan dari pemberi layanan untuk memberi kesempatan dan akses kepada penerima layanan untuk berpartisipasi dalam melakukan perbaikan. Dalam situasi yang terbuka diantara kedua belah pihak tersebut memungkinkan saling check and balances dengan tujuan utama meningkatkan kualitas pelayanan.

Untuk mewujudkan tersebut, Undang-undang 25 tahun 2009 telah secara tegas memerintahkan setiap pemberi layanan harus menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi melalui penyediaan sarana pengaduan. Ditambahkan lagi pada pasal lainnya bahwa menyampaikan pengaduan pun merupakan hak masyarakat sekaligus menjadi kewajiban pemerintah untuk menindaklanjuti dan menanggapi pengaduan yang disampaikan.

Setelah 3 tahun undang-undang tersebut menegaskan pentingnya pengaduan, tidak banyak instansi publik yang melaksanakan penanganan pengaduan ini secara serius. Hal ini terlihat dari sejauhmana fasilitas yang disediakan betul-betul mempermudah akses masyarakat untuk menyampaikan pengaduan tersebut. Dengan fasiltas yang seadanya, banyak institusi publik beranggapan telah melaksanakan UU 25/2009.

Mental inilah yang menghambat perubahan. Spirit Undang-undang kadang hanya dimaknai sebagai kewajiban “an sich” yang orientasinya menggugurkan kewajiban saja. Akibatnya, pengaduan yang disampaikan masyarakatpun tidak ditindaklanjuti secara serius.

Dampak yang muncul berikutnya adalah timbulnya apatisme masyarakat untuk menyampaikan pengaduan. Ada anggapan bahwa pengaduan apapun tidak akan ditindaklanjuti oleh instansi yang bersangkutan.

Anggapan tersebut ditunjukan oleh penelitian Bappenas pada tahun 2010 yang melakukan studi di beberapa instansi pada beberapa wilayah di Indonesia. Hasilnya, sebanyak 52% menganggap bahwa pengaduan tidak berguna bagi yang bersangkutan dan 29% ada anggapan bahwa apapun jenis pengaduannya tidak akan ditindaklanjuti secara serius oleh instansi yang bersangkutan (skeptis). Sementara sisanya beranggapan bahwa saat ini tidak ada sarana khusus untuk menyampaikan pengaduan.


Menurut Pattiro (2004) seperti yang dikutip oleh Utomo (2008), sikap skeptis masyarakat terhadap penanganan pengaduan tersebut diakibatkan oleh  rendahnya respon instansi penyelenggara pelayanan terhadap keluhan atau pengaduan dari masyarakat. Intinya, Tidak responsifnya penyelenggara layanan terhadap keluhan masyarakat menyebabkan masyarakat enggan lagi untuk menyampaikan keluhan lagi.

Dua Kunci Sukses
Dari beberapa studi tersebut, menunjukan bahwa kunci sukses penanganan pengaduan terletak pada dua aspek yang sama-sama penting. Pertama, aspek komitmen pemerintah sebagai pemberi layanan untuk selalu responsif terhadap keluhan masyarakat dan dituntut untuk memberikan fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan keluhannya.

Komitmen untuk mengelola pengaduan harus dimaknai sebagai kebutuhan bukan kewajiban. Nampaknya pemerintah harus banyak belajar dari swasta yang menempatkan keluhan konsumen sebagai “vitamin” untuk memperbaiki kualitas produknya sehingga betul-betul bisa diterima pasar. Mungkin dalam tataran ini lebih tepatnya “good corporate governance” harus diterapkan oleh pemerintah bukan sebatas konsep yang menghiasi seminar-seminar dan tercantum dalam laporan-laporan saja.

Jika komitmen itu terwujud, maka Pemerintah akan secara serius mengelola pengaduan ini termasuk menyediakan sarana yang menunjang. Kembali lagi ke swasta, Orientasi pihak swasta saat ini bukan hanya menangani keluhan dalam arti pasif, mereka justru secara aktif menjaring keluhan atau saran dari konsumennya. Bahkan untuk melakukan itu mereka rela harus mengeluarkan sumberdaya finansial yang tidak sedikit, dalam beberapa contoh mereka justru memberikan reward khusus bagi konsumennya sebagai imbalan atas keluhan atau kritik yang disampaikan. Begitu pentingnya posisi konsumen dimata swasta dalam perbaikan kualitas produknya.

Kedua, aspek kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam perbaikan layanan melalui penyampaian keluhan harus ditingkatkan. Berdasarkan studi diatas, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat enggan menyampaikan keluhan diantaranya adalah anggapan tidak berguna bagi pengadu, anggapan tidak ada sarana, dan anggapan tidak akan ditindaklanjuti.

Oleh karena itu, jika pemerintah sudah berkomitmen untuk menjadikan penanganan pengaduan sebagai kebutuhan (bukan kewajiban), maka selanjutnya PR besar yang harus dilakukan pemerintah adalah menyediakan sarana dan sistem prosdur yang memudahkan masyarakat.

Mungkin bagi pemerintah, dengan sumber daya yang besar, menyediakan sarana pengaduan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, namun menyediakan sarana yang tepat dan memudahkan masyarakat tentu perlu dikaji lagi.

Catatan kritis terhadap praktek Penanganan pengaduan
Berdasarkan pengetahuan penulis, beberapa pemerintah/instansi telah berinisiatif untuk melakukan penanganan pengaduan (nampaknya) secara serius. Hal ini ditunjukan dengan beberapa sarana yang disediakan secara khusus, yang tujuannya untuk mempermudah masyarakat dalam menyampaikan pengaduan dan pemerintah untuk menangani pengaduan. Namun tidak semua sarana efektif, contohnya di Pemerintah DKI Jakarta.

Media Penananganan pengaduan di Respon Opini Publik (ROP) Pemerintah DKI Jakarta secara umum dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu aktif dan pasif. Aktif disni diartikan bahwa pemerintah provinsi DKI melakukan penjaringan pengaduan secara aktif, dimana petugas melakukan pencarian keluhan baik di koran/suratkabar, youtube, maupun berita-berita yang disampaikan melalui televisi nasional , disinilah nampak komitmen Pemerintah DKI sejak dipimpin oleh Jokowi/Ahok ini. hasil pencarian ini kemudian diinventarisasi dan ditindaklanjuti secara serius.

Pendekatan lainnya adalah pasif, diartikan bahwa petugas melakukan respon jika ada pengaduan masyarakat yang  diterima melalui SMS, website, email dan datang langsung ke sekretariat ROP. Singkatnya, jika ada pengaduan yang masuk melalui media-media tersebut, baru petugas akan menindaklanjutinya. Namun sayangnya, media yang digunakan masyarakat saat ini baru melalui SMS, sementara media yang lainnya belum berfungsi secara maksimal.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petugas yang khusus menangani pengaduan, alasan minimnya yang masyarakat yang  menggunakan website dimungkinkan oleh keengganan masyarakat untuk menyampaikan identitas diri yang dipersyaratkan oleh sistem ini.  Padahal identitas diri tersebut, menurut petugas,  sangat membantu dalam melakukan penangangan kasus yang diadukan.

Bahkan ketika petugas meminta klarifikasi identitas kepada pengirim SMSpun, pengirim SMS rata-rata enggan memberikan keterangan dan memilih untuk menghentikan kasus yang diadukannya.

Hal serupapun terjadi di Pemerintah Kabupaten Purwakarta, yang memiliki Pusat Layanan Informasi dan pengaduan masyarakat. Sejak di-launching bulan juli 2013 yang lalu, baru media sms yang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan jumlah rata-rata lebih dari 50 SMS/per hari. Sementara aplikasi pengaduan yang ada pada www.plipmas.purwakartakab.go.id belum termanfaatkan sama sekali. Tidak jauh dari DKI Jakarta, hal ini juga dimungkinkan karena keengganan masyarakat untuk menunjukan identitas diri dan terlapor yang notabene sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan.

Keterbatasan pengaduan via SMS
Memang, bagi masyarakat SMS merupakan media yang sangat mudah digunakan, hampir semua orang saat ini memiliki Handphone yang bisa digunakan untuk SMS. Tanpa susah payah, masyarakat dengan mudah bisa menyampaikan pengaduan atau sekedar opini kepada pemerintah melalui SMS. Namun dari sisi pemerintah, media ini ternyata belum sepenuhnya membantu menjelaskan secara persoalan yang diadukan oleh masyarakat.

Dengan jumlah 160 karakter,  SMS sulit menjelaskan kasus-kasus tertentu yang ingin disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah. Alhasil, pemerintah harus menggali permasalahan tersebut dengan mengklarifikasi kepada pengirim sms tersebut dengan menanyakan sekurang-kurangnya identitas pengadu, identitas yang diadukan dan kronologis kejadian yang diadukan. Selain untuk kepentingan tindak lanjut, langkah ini juga dilakukan untuk menjamin pengaduan yang disampaikan melalui sms tersebut betul-betul terjadi.

Seperti yang disinggung diatas, berdasarkan pengalaman di ROP DKI Jakarta, kebanyakan masyarakat pengirim SMS tersebut sulit untuk dimintai klarifikasi. Dalam beberapa kasus bahkan mereka seolah meminta petugas untuk membatalkan pengaduan yang disampaikannya dengan alasan tidak mau “berurusan”.

Penutup                                                                                                
Kesimpulan dari kasus di dua daerah tersebut menunjukan masyarakat kita cenderung ragu atau segan untuk menyampaikan pengaduan secara terbuka dan bertanggungjawab. Disisi lain keengganan ini pun harus ditanggapi secara serius untuk dicarikan alternatif solusinya. Keadaan ini tidak untuk mempersalahkan masyarakat namun menjadi tantangan untuk pemerintah mensiasatinya secara kreatif.

Walaubagaimanapun, “masyarakat adalah pelanggan, dan pelanggan adalah raja”, kata orang.

Bandung, 19092013-Ikbal