Kamis, 26 Maret 2015

Mendorong Pembentukan ULP yang Permanen, Independen dan Modern





Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengamanatkan agar KLDI membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP), dan diberi tenggat waktu hingga tahun 2014 yang lalu. Sejak saat itu, KLDI berlomba-lomba membentuk ULP tersebut dengan berbagai macam variasi bentuk kelembagaan.
Lantas, mahluk sejenis apakah ULP itu?. Menurut pasal 1 ayat 8 didalam perpres tersebut menjelaskan, bahwa yang dimaksud ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.  Dengan demikian, dari definisi tersebut setidaknya ada 3 kata kunci utama yang bisa kita maknai, pertama, ULP merupakan organisasi yang melaksanakan kegiatan pengadaan; kedua, ULP harus bersifat permanen; dan ketiga, ULP dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang telah ada.
Dengan demikian, ketiga kata kunci tersebut merupakan kriteria yang bisa dijadikan alat ukur untuk melihat dan mendefinisikan sesuatu disebut ULP atau bukan. Memang istilah “permanen”, “berdiri sendiri” dan “melekat”, saat ini seringkali menjadi perdebatan yang panjang, karena perpres tersebut tidak menjelaskan secara detail istilah-istilah tersebut. Inilah yang menjadi penyebab terjadinya interpretasi yang berbeda-beda pada masing-masing KLDI. Karena interpretasi yang berbeda inilah yang menyebabkan begitu beragamnya bentuk kelembagaan ULP di Indonesia. Maka untuk mengakhiri perdebatan ini, seyogyanya kita kembali mempertanyakan istilah yang dimaksud kepada LKPP sebagai inisiator dan penyusun Perpres tersebut.
Menurut salah satu sumber di LKPP, Istilah permanen merujuk pada istilah lembaga struktural, yang implementasinya di pemerintah daerah diwadahi dalam bentuk SKPD. Sementara istilah berdiri sendiri dimaksudkan bahwa ULP merupakan SKPD itu sendiri dan istilah “melekat” disematkan pada ULP yang menjadi salah satu unsur/bagian dari SKPD.
Penjelasan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa jika ada ULP yang bersifat ad-hoc, maka itu bukanlah ULP yang dimaksudkan oleh Perpres tersebut, yang artinya dari sudut pandang ketentuan Perpres, maka dianggap tidak belum memiliki ULP.

Bentuk dan Nomenklatur kelembagaan ULP
Berdasarkan Kajian akademis Unit Layanan Pengadaan yang diterbitkan oleh LKPP, Pengadaan Barang/Jasa pada dasarnya bersifat supporting Staff yaitu bahwa Pengadaan tersebut berperan dalam memberikan jasa pendukung tidak langsung kepada Organisasi. Dalam kata yang lebih sederhana, pengadaan merupakan salah satu alat dalam mendukung terlaksananya tugas pokok dan fungsi organisasi. Dalam tataran implementasinya, fungsi pengadaan barang/jasa berada pada Sekretariat Jendral di Kementrian atau pada Sekretariat daerah di Pemerintah Daerah..
Jika melihat hal ini, maka sudah tepat jika ULP menjadi Bagian/Biro pada sekretariat Daerah atau sekretarit jendral pada kementrian. Namun, fungsi supporting staff tersebut hanya cocok diterapkan jika istilah pengadaan barang/jasa dimaknai sebagai kegiatan pemilihan pemenang lelang an sich, yang fungsinya relatif sederhana. Sementara Pengadaan barang/jasa merupakan proses yang kompleks yang menempatkan pemilihan pemenang lelang menjadi salah satu bagian didalamnya.
Lantas apa yang dimaksud dengan “Pengadaan barang/jasa”?
Menurut saya, (yang diterjemahkan secara sederhana dari Perpres 54/2010 pasal 1 ayat 1), Istilah pengadaan barang/jasa merupakan seluruh tahapan kegiatan pemerintah dalam memperoleh barang/jasa, dimulai dari tahap perencanaan hingga barang/jasa yang diinginkan tersebut diperoleh Pemerintah.
Dengan demikian, kegiatan pengadaan barang/jasa merupakan kegiatan yang kompleks. Jika dikaitkan dengan fungsi ULP, maka kompleks pula lah tugas pokok yang harus diemban oleh ULP karena  ULP setidaknya memiliki 3 fungsi utama yaitu : Teknis, Fungsi Koordinasi dan Fungsi Pelayanan/pembinaan. Apalagi jika dikaitkan dengan isu-isu yang berkembang saat ini, misalnya: isu pengadaan barng/jasa di pemerintah desa yang menuntut ULP untuk berperan aktif dalam melakukan pembinaan berkaitan dengan pengadaan barang/jasa; kebutuhan para pegiat pengadaan untuk mendapatkan perlindungan hukum; kebutuhan terhadap peningkatan kapasitas bagi internal ULP sendiri (termasuk pokja), SKPD dan penyedia barang/jasa; dan lain sebagainya.
Lantas, kelembagaan apa yang cocok bagi ULP untuk melaksanakan fungsi pengadaan??
Naskah akademis yang diterbitkan LKPP tersebut diatas memberikan keterangan, pada dasarnya fungsi supporting dapat berkembang menjadi fungsi auxillary jika organisasi tersebut berkembang menjadi organisasi yang kompleks. Dalam tataran praktisnya, auxillary tersebut diimplementasikan di Pemerintah daerah dalam bentuk lembaga teknis daerah (Badan atau Kantor) atau berbentuk pusat pada Kementrian.
Sebagaimana diuraikan diatas, maka jika kita berharap ULP menjalankan fungsinya bukan sekedar melaksanakan kegiatan pemilihan pengadaan an-sich, maka beban kerja ULP akan menjadi sangat besar dan kompleks, oleh kaena itu hanya auxillary yang mampu menjalankan fungsi itu. Ingat, baju sempit hanya cocok bagi orang yang berbadan kurus, hanya yang baju besarlah yang mampu membungkus orang yang berbadan besar.
Sebagai tambahan, untuk melihat karakteristik ideal ULP diwadahi dalam bentuk auxillary atau Supporting staff, maka kita perlu membandingkan kelemahan dan kelebihan masing-masing. Untuk memudahkan, mari kita coba membandingkan kelebihan dan kelemahan antara ULP berbentuk Bagian dengan berbentuk Kantor di Pemerintah Daerah (agar aple to aple karena sama-sama dijabat oleh eselon III)., sebagai berikut:
Lembaga
Kelebihan
Kelemahan
Kantor (Auxillary)
·         Kemandirian dalam pengelolaan anggaran yang berbentuk DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran).
·         Kepala ULP bertanggungjawab langsung kepada kepala Daerah. Oleh karena itu, Intervensi dalam proses pemilihan barang/jasa dapat diminimalisir, karena tidak memiliki atasan selain kepala daerah
·         Tertib administrasi kearsipan.
·         Pembinaan SDM: misalnya karir dan profesionalisme bagi jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa.
·         Belum terakomodir dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 99 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota
Bagian (Supporting)
·         ULP Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 99 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota
·         ULP hanya terdiri dari 1 orang eselon III dan 3 orang eselon IV, sehingga tidak terlalu membebani anggaran jika dibandingkan dengan ULP berbentuk Badan
·         Tertib administrasi kearsipan.
·         Pembinaan SDM: misalnya karir dan profesionalisme bagi jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa.
·         Kepala ULP dijabat oleh Pejabat Eselon III (Kepala Bagian), yang secara struktural dibawah Kepala Dinas/Badan (eselon II). Hal tersebut dapat menghambat komunikasi dan koordinasi langsung dengan SKPD tersebut.
·         Meskipun ada mata anggaran tersendiri,  tetapi secara umum menginduk kepada DPA Sekretariat Daerah. Hal tersebut menghambat ULP jika Asisten atau Sekretaris Daerah tidak berkomitmen untuk mendukung kegiatan ULP.
·         Kepala ULP berada dibawah asisten yang juga berada dibawah Sekretaris Daerah.  Oleh karena itu, ULP memiliki kerentanan terhadap intervensi dari atasan langsung (Asisten dan Sekda).

Bersambung lain waktu ya..