Jumat, 11 November 2011

Partisipasi Masyarakat dan Pelayanan Publik

Pelayanan Publik erat kaitannya dengan tugas umum pemerintah. Menurut Rasyid (2001), menyebutkan tugas umum pemerintah terdiri dari tugas pelayanan, pemberdayaan, regulasi, dan pembangunan. Pelayanan diartikan sebagai upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan public yang berkualitas. Pemberdayaan berarti bahwa salah satu tugas pemerintah harus memberikan ruang dan fasilitas kepada public untuk berdaya sesuai dengan potensinya. Regulasi diartikan sebagai fungsi pengaturan agar terjadi ketertiban dan keadilan social dan terakhir, pembangunan merupakan tugas umum pemerintah dalam melaksanakan proses pembangunan yang sesuai tujuan dan arah kebijakan Negara dalam mensejahterakan masyarakatnnya.

Namun demikian, berbagai studi menyatakan bahwa pelayanan public masih cenderung belum mampu memenuhi kemauan masyarakat, akibatnya timbul ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah. Perubahan kearah yang lebih baik tanpa melibatkan masyarakat tidak tepat jika disebutkan sebagai pembangunan, malah lebih tepat jika disebutkan sebagai mobilisasi. Dalam konteks ini peran masyarakat dalam pembangunan memiliki peran strategisnya. Artinya bahwa peran penting masyarakat dalam pembangunan berputar disekitar partisipasi.

Arti penting partisipasi
Kemajuan pelayanan public dianggap lebih rendah jika dibandingkan dengan kemajuan pelayanan yang diberikan oleh swasta. Kondisi demikian, menyebabkan reformasi dibidang ilmu administrasi yang saat ini mengunakan konsep New Public Management (NPM). NPM ini, secara sederhana adalah upaya adopsi dari prilaku-prilaku yang dianggap berhasil disektor swasta yang mampu bekerja secara efisien dan efektif. Harapannya, dengan konsep NPM, fungsi fungsi birokrasi dapat lebih efektif dalam memberikan kualitas pelayanan yang baik.

Salah satu penyebab utama buruknya kualitas pelayanan birokrasi adalah karena birokrasi cenderung monopolisitik, hampir tidak ada persaingan sama sekali. Akibatnya, kepuasan pelanggan tidak menjadi focus utama dan sebagai sumber perbaikan dalam pelayanan. Hal ini berbeda kontras dengan pelayanan sector swasta, persaingan menuntuk mereka bias lebih survive dengan mengedepankan kepuasan pelanggan. Mekanisme voicing yang disuarakan pelanggan betul-betul diperhatikan oleh kalangan swasta sebagai energy perbaikan pelayanan. Jika tidak, pelanggan akan kecewa dan berpindah kepada produk yang dikeluarkan oleh perusahaan lainnya yang mampu memberikan kepuasan pelayanan yang lebih baik.

Tentunya, kita tidak sedang menggugat praktek monopolistic itu, karena jelas apapun itu pasti berkaitan dengan tugas umum pemerintah yang sudah dibahas sebelumnya. Misalnya pembuatan KTP atau perizinan sangat berkaitan dengan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengendalian sehingga terciptanya ketertiban umum, dan tidak berdampak negative kepada pihak lainnya. Dalam konteks ini, jelas kewenangan seperti ini tidak bias diserahkan kepada swasta. Namun demikian, sebagai bagian dari pilar Good Governance, masyarakat memiliki hak untuk diberi pelayanan yang berkualitas.

Sebenarnya buruknya system pelayanan public sudah bukan merupakan isu baru, Negara-negara Skandinavia tepatnya Swedia sejak tahun 1800an sudah menyadari betapa pentingnya posisi pelanggan dimata pemerintah pada waktu itu. Hal ini menyebabkan pemerintah menciptakan mekanisme penanganan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat karena pelayanan yang memuaskan. Mekanisme itu yang kemudian dilembagakan menjadi Ombudsman pada tahun 1809. Kata “ombudsman” itu sendiri berasal dari bahasa Swedia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti “keluhan orang”. Dalam terminologi lain, ombudsman biasa disebut ombudsperson, ombudservice, yang berarti seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan masyarakat. Ombudsman pada dasarnya merupakan lembaga independen yang bertugas menerima pengaduan masyarakat.

Apapun namanya, mekanisme penanganan keluhan pelanggan perlu diwujudkan bersama. Dalam posisi inilah pengarusutamaan (mainstreaming) isu ini perlu didorong oleh berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah dan juga masyarakat. Di Pemerintah pusat sendiri saat ini telah memiliki lembaga Ombudsma RI. Sejauhmana efektifitas ORI ini bukan bagian dari focus tulisan ini. Yang menjadi perhatian adalah will dari pemerintah untuk menangkap keluhan masyarakat yang bisa ditransformasi sebagai kritik bahkan saran bagi pembangunan.

Sementara itu, mayoritas keluhan yang diterima oleh ORI pada tahun 2010 justru ditujukan kepada pelayanan di Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukan bahwa keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah masih rendah. Disini, mekanisme dan fasilitas penanganan keluhan perlu dibangun juga dipemerintah daerah, sehingga proses penyampaian keluhan yang disampaikan masyarakat dan juga proses penanganan keluhan tersebut dapat lebih cepat dan sederhana.

Bersambung…

Kamis, 10 November 2011

Bisnis atau Idealisme ??

Memang, antara muatan idealisme dan muatan bisnis merupakan dua hal yang berbeda jauh sama sekali. Idealisme adalah melakukan sesuatu berdasarkan dorongan jiwa berdasarkan ide-ide atau pemahaman yang baik. Tentunya bisnis, merupakan aktifitas mencari keuntungan ekonomi. Dari kedua hal itu, dapat ditafsirkan bahwa dorongan seseorang melakukan sesuatu akan hanya menghasilkan keuntungan - keuntungan ekonomi semata tanpa menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar (mungkin) jika didasari oleh idealisme.

Namun demikian, saya berpendapat, dua kata tersebut tidak seperti air dan minyak yang tidak bisa disatukan sama sekali. Justru realitas hidup menuntut kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi (physically), maka dari itu perlu bisnis. Disisi lain idealisme adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan jiwa, yang sifatnya abstrak yang juga tak bisa serta merta terpenuhi oleh ekonomi. Dua kebutuhan jasmaniah dan rohaniah tersebut seyogyanya dapat berjalan beriringan tanpa saling menegasikan satu dengan yang lain.

Dalam tataran praktisnya,saat ini, idealisme untuk memberikan manfaat yang lebih besar terkadang harus tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi saja. yang akhirnya hanya bagus diatas kertas namun minim sekali manfaatnya bagi masyarakat dan pembangunan. mengerikan!

Dalam kata lain, kita hanya sedang bermain peran (ga ada bedanya dengan sinetron), dimana idealisme hanya sebagai bungkus untuk mewujudkan kepentingan bisnis atau ekonomi tersebut. Wajah kita seolah suci sebagai dewa penolong yang memberikan pertolongan kepada siapapun yang ingin ditolong tanpa pamrih, padahal kita tak sesuci itu yang memiliki sifat altruisme tinggi.

Saya tidak anti ekonomi, saya hanya ingin kepentingan itu tetap berjalan tetapi juga disertai dengan idealisme. Idealisme merupakan faktor dukungan utama dalam melakukan aktifitas apapun, adapun pemenuhan kepentingan ekonomi merupakan bagian yang berjalan berdampingan dengan idealisme. itu saja!

Selasa, 01 November 2011

Perizinan bukan sekedar alat Investor

Kita ingat, bahwa isu perizinan akhir-akhir ini menjadi booming baik dikalangan pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha. isu ini semakin menarik dikaji seiring dengan berbagai keluhan dunia usaha dan masyarakat tentang proses perizinan yang sulit, berbelit dan tidak jelas baik dari sisi prosedur dan biaya. Tentunya ini sesuai dengan pendapat dari Siagian (1996) yang dikutip oleh Sinambela dkk (2008) bahwa salah satu kebiasaan birokrasi saat ini adalah memperlambat proses penyesuaian izin dengan berbagai dalih dan alasan.

Tentunya dari sisi pertumbuhan eknonomi, perizinan merupakan pintu masuk utama investor ke suatu daerah. Oleh karenanya, Presiden melalui paket kebijakan percepatan iklim investasi yang tertuang dalam Instruksi Presiden no 3 tahun 2006, dengan tegas menyebutkan bahwa seluruh bangsa ini perlu melakukan reformasi birokrasi dibidang perizinan. hal ini pula menjadi dasar kementrian dalam negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). berbagai peraturan lain pula terus bermunculan hingga saat ini, mulai dari PP 41 tahun 2007 tentang OPD, dengan jelas memberikan slot kelembagaan PTSP tersebut. dan masih banyak lagi..

Berbagai pihak pun bekerja mendorong peningkatan kemudahan pelayanan perizinan, tiga kementrian yang saat ini menonjol dan berkontribusi besar diantaranya adalah Depdagri, BKPM dan Menpan (meskipun terkesan tak ada koordinasi diantaranya dan bekerja sendiri-sendiri). Kalangan Donor dan LSM pun melirik isu reformasi birokrasi perizinan ini menjadi suatu hal yang seksi. kolaborasi antara pemerintah dan swasta (baca: Donor dan LSM)tersebut, didukung dengan gempuran berbagai kebijakan yang terkait mendorong terjadinya reformasi tersebut secara massif di berbagai daerah di Indonesia.

Data yang penulis dapatkan dari Depdagri, perjanuari 2010 saja sudah terbangun 341 PTSP di seluruh daerah di Indonesia. hal ini sungguh mengejutkan sekaligus membuktikan bahwa kolaborasi antara birokrasi dengan swasta menghasilkan prestasi yang menggembirakan. meskipun catatan kritisnya, dari sejumlah 341 PTSP tersebut, belum smuanya menerapkan PTSP secara maksimal. masih banyak daerah yang menerapkan secara (terkesan) dipaksa oleh kebijakan pemerintah pusat.

Perizinan dan Tugas umum Pemerintah
Sesuai dengan teori kontrak sosial, bahwa negara memiliki otoritas penuh dalam hal kebijakan. Birokrasi adalah alat negara untuk mencapai tujuannya, yaitu mensejahterakan rakyatnya. menurut Riyas Rasyid (lupa bukunya apa dan tahun berapa), 3 tugas umum pemerintah adalah Tugas Pelayanan, Tugas Pemberdayaan dan Tugas Pembangunan. Berdasarkan hal itu, sangat jelas bahwa dimensi perizinan memiliki ketigas dimensi tugas tersebut.

Dari sisi Tugas Pelayanan, Jelas Perizinan merupakan otoritas pemerintah yang digunakan untuk melayani kebutuah masyarakat. dari sisi Pemberdayaan, Perizinan juga memberikan kontribusi pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mampu tumbuh kembang dan terfasilitasi oleh instrumen kebijakan perizinan. dan terakhir dari sisi Pembangunan, Perizinan merupakan alat kendali pemerintah untuk melaksanakan pembangunan, sehingga perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada kalangan swasta tidak mengganggu program pemerintah dalam pembangunan, termasuk didalamnya penataan kota dan lingkungan.

Izin Sebagai Alat Kendali
Seperti yang telah diuraikan secara singkat diatas, Perizinan memiliki peran strategis dalam mengendalikan arah pembangunan. Perizinan adalah alat dari pengambil kebijakan (decision maker). Oleh karenanya, dapat diartikan arah pembangunan seperti apa yang akan dituju oleh suatu daerah, jelas sangat berkaitan dengan penyelenggaraan perizinan sebagai alat kendalinya.

Hal ini senada dengan pendapat Bagir Manan yang menyebutkan bahwa “Izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang” (dalam Ridwan, 2006). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa perizinan memrupakan hak pengecualian yang diberikan pemerintah kepada pihak tertentu untuk melakukan sesuatu yang pada dasarnya dilarang. hak pengecualian ini dikarenakan pihak tertentu tersebut memenuhi persyaratkan yang diatur dalam perundang-undangan.

Dengan demikian, pemerintah dapat menolak, bahkan diwajibkan menolak apabila pemohon izin tidak memenuhi kerangka umum kebijakan daerahnya, termasuk misalnya dalam hal penataan kota/daerah.

Pertumbuhan Investasi VS Pengendalian Kota/daerah
Berbagai kebijakan yang melatarbelakangi perkembangan reformasi perizinan di banyak daerah seharusnya tidak diartikan dalam mempermudah investor saja, tetapi tak kalah penting dari itu adalah mengendalikan daerahnya sesuai dengan kebijakan pengembangan daerah tersebut, misalnya masalah lingkungan.

Kemudahan perizinan bukan berarti melakukan diskresi terhadap kebijakan yang telah diambil dalam konteks mengatasi maslaah lingkungan. justru, seharusnya daerah dapat lebih mudah mengawasi dan mengendalikan lingkungannya dengan prosedur birokrasi perizinan yang lebih simple yang dihasilkan dari proses reform yang telah dilakukan.

Salah satu isu di Bandung, misalnya kawasan bandung Utara (KBU), yang merupakan kawasan lindung sebagai daerah resapan air. kebijakan ini sudah dengan sangat jelas diatur dalam dokumen-dokumen perencanaan tata ruang wilayah. Namun kenyataanya, semakin lama daerah KBU ini justru banyak disesaki oleh aktivitas-aktivitas pembangunan Hotel, Villa dan lain sebagainya yang sangat bertentangan dengan kebijakan awal.

Dalam hal ini, dengan mudah bisa kita jelaskan bahwa problem tersebut, bersumber dari Distorsi kebijakan di Level perizinan. Seharusnya, Dokumen perencanaan tentang KBU menjadi patokan yang bersifat absolute dalam pengambilan kebijakan perizinan. Jelas apabila bertentangan dengan dokumen tersebut, perizinan yang dimohonkan seharusnya ditolak.

Betul bahwa, daerah perlu investasi, tetapi Investasi yang bagaimana yang akan ditumbuhkembangkan? apakah Investasi yang juga mempertimbangkan aspek lingkungan (baca:masyarakat luas) ataukan Investasi tanpa alasan (meskipun mengganggu hak masyarakat lain untuk hidup nyaman?) apabila Opsi kedua yang diambil, jelas tidak lama-lagi pemerintah akan menghadapi masalah lingkungan yang sangat sulit dikendalikan dan berimplikasi lintas sektoral, pasti!!.

Koreksi terhadap Kebijakan
Uraian tersebut diatas sengaja saya tuliskan, melihat penyalahgunaan perizinan yang rasanya semakin semrawut, dan lebih mengedepankan Investor daripada kepentingan umum. Hal ini pun, sekaligus sebagai bahan koreksi saya terhadap latar belakang kebijakan Inpres no 3/2006, Permendagri 24/2006 dan kebijakan-kebijakan lainnya yang lebih mengedepankan aspek Kemudahan Investasi, tanpa mengulas sedikitpun aspek pengendalian lingkungan.

Salah satu teori yang dikemukakan oleh ahli (lupa siapa dan bukunya apa)menjelaskan bahwa salah satu faktor kegagalan kebijakan adalah Kebijakan itu sendiri yang salah. Nah dalam hal ini, kebijakan pemerintah tentang PTSP tersebutlah yang salah dalam konteks tidak mencantumkan masalah pengendalian lingkungan. Akibatnya contoh kasus di bandung tadi, Pengambil kebijakan dengan mudah memberikan izin kepada investor untuk membangun villa, hotel dan lain-lain di daerah KBU meskipun konsekwensinya melanggar kebijakan yang telah dibuatnya sendiri tentang KBU tersebut.Meskipun sangat dimungkinkan faktor lainnya (dalam kasus KBU) sangat berperan, misalnya loby dan duit!

Penutup
Sebagai Penutup, Penulis berharap, pemerintah maupun pihak-pihak yang berkepentingan perlu segera mengevaluasi kebijakan ini. Sejauhmana penarikan Investor dapat selaras dengan kepentingan masyarakat umum. Sehingga pertumbuhan iklim investasi yang bermanfaat secara multiplier juga dapat selaras dengan kesejahteraan masyarakat dalam konteks yang lebih luas, tentunya!