Selasa, 14 Oktober 2014

Hard and Long Trip to Go to Rote Ndao

Senin yang cerah, 6 Oktober 2014 :
Si kembar kembali mendekati, sebagaimana biasanya dipagi hari, mereka berdua semangat bermain-main, sesekali rebutan duduk dipangkuan sambil keluar ocehan tak jelas khas bayi yang sedang belajar bicara. Pagi hari memang selalu dihiasi keriuhan karena diiringi tangisan salah satu atau bahkan keduanya krn rebutan mainan. Senangnya melihat mereka, tangisan dan tingkah lucu mereka memang slalu berhasil membuat saya kangen, terlebih ketika saya sedang diluar kota, seperti skarang. Sementara si sulung yang baru masuk di Kelas 1 SD selalu duduk santai sambil nonton tv atau sesekali godain adik kembarnya padahal sudah waktunya untuk mandi dan bersiap berangkat sekolah.

Berangkat dari rumah pukul 7.30, dengan menumpang jasa taksi Bluebird saya un menyusuri spot-spot kemacetan di Kota Bandung. Saya memang harus berangkat lebih awal, karena waktu tempuh di Bandung sekarang sudah sangat unpredictable. Kemacetan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Jd kalau perkiraan waktu tempuh ke Bandara itu 45 menit, maka saya harus spare time minimal 1,5 jam, agar saya tidak terlambat.

Alhamdulillah, saya sampai di Bandara jam 8.30. Setelah melakukan pembayaran sebagamana tertera di argo taksi tsb, sy pun turun dan bergegas untuk check in. Ransel dan tas kecilpun harus melewati x ray, sbagaimana prosedur pada umumnya. Dengan membayar 25.000 sbagai airporttax, sy pun mendapatkan tiket boarding pass untuk penerbangan ke Kupang hari ini. Meskipun agak kecewa krn penerbangan sy delayed 1 jam, sehingga direncanakan jam 11.20 baru akan take off.

Ya sudahlah, ga apa-apa, yang penting saya bisa sampai kupang sore hari ini. Lagian 60 menit karena delayed tersebut, bisa saya gunakan untuk buka laptop, menelpon sana-sini menyelesaikan urusan kantor yg tertunda, atau bahkan urusan pribadi. Saya pun melakukan aktivitas saya, sekedar buka email, kirim email dan telpon sana-sini hingga semuanya tuntas.

Tiba2 telp sy berdering, dari nomor dan kode telepon yang saya ga tahu. Stelah diangkat, si penelpon mengaku bernama angga, dari sebuah maskapai di bandara denpasar. Dengan maskapai inilah saya akan menuju Kupang melalui denpasar untuk transit. Kalau lihat dari boardingpass tertera disitu bahwa dari denpasar ke kupang sy akan berangkat pukul 13.00.

Dengan asumsi waktu tempuh bandung-denpasar itu 1 jam, maka sy perkirakan akan sampai di denpasar pukul 13.00. Jam berapapun sampai di denpasar, pasti connecting flight akan menunggu sy tiba di denpasar, itu hal umum, krn kterlambatan dr pihak maskapai sendiri.

Angga menelpon sy untuk menjelaskan bhw pesawat dr denpasar ke kupang hrs berangkat tanpa sy, dalam artian tdk bisa menunggu sy tiba di denpasar. Dan sbgai penumpang, sy ditawarkan rerouting, dg penerbangan lain pukul 16.dr bandung ke kupang, via surabaya. Sbagai konsumen, sy merasa diseret pada situasi sulit yg diciptakan oleh maskapai tsb. Disatu sisi sdh jelas sy akan terkatung2 nasibnya jika sy tetap terbang ke denpasar jam 12, krn sy sdh ditinggal oleh pesawat connect menuju kupang, tp disisi lain sy sangat rugi skali jika sy hrs brangkat jam 16, krn artinya sy hrs menghabiskan 7 jam berada di bandara bandung. Terlebih dg perkiraan waktu sampai di kupang diatas jam 22  :(. Itupun belum ditambah asumsi, jika terjadi delayed di surabaya, sperti yang biasanya terjadi (pengalaman).
 
Tak lama stelah angga mrnutup telp nya, giliran pihak maskapai yg sm dibandung menelpon untuk menawarkan hal yg sm, sy pun mengajak untuk bertemu untuk membicarakannya. Sy katakan bhw perjalanan sy ke kupang, bkn perjalanan liburan yg bs diganti kapan saja, perjalanan sy kekupang adalah untuk melanjutkan perjalanan ke Rotendao, sbuah kabupaten di NTT yg hanya bs ditempuh dg perjalanan laut. Rencananya, kberangkatan ke Rote dr Kupang akan dilakukan keesokan harinya, krn kapal cepat dr pelabuhan tenau kupang ke pelabuhan Baa kabupaten rotendao itu beroperasi pukul 08.30 pada setiap harinya.

Jd solusi untuk reroute ke pukul 16. Via surabaya adalah alternatif yg lbh baik dibandingkan jika sy tetap brrangkat pukul 12 ke denpasar, dan menginap di denpasar. Dg berangkat pkl 16 , sy msh punya kesempatan untuk brkt keesokan harinya ke pulau paling selatan di Indonesia itu.
Tp meskipun begitu, sbagai costumer sy sangat dirugikan, krn kehilangan waktu, tenaga dan momen yg sangat banyak, dan harus menunggu di bandara lbh dr 7 jam. Nah ttg hal itu, sy meminta pertanggungjawaban dr pihak maskapai tsb. 

Menurut permenhub 77/2011, sy berhak atas 300 rb bila delayed lbh dr 3 jam atau 50% dr nilai tsb jika maskapain menawarkan reroute.namun meskipun sdh disampaikan dg gamblang, pihak maskapai ttp tdk mau melayani tuntutan saya.
Sy pun kehabisan akal. sy hanya membuat para staf tsb tertekan, krn mereka ga punya kewenangan untuk mengabulkan tuntutan sy.sementara itu, manager bandaranya tdk bisa ditemui, krn sedang tdk ditempat, katanya. 

Kadang para staf seringkali dijadikan tumbal untuk menghadapi persoalan yg seharusnya dihadapi si pengambil kebijakan. "Sedang tdk berada ditempat" menjadi alasan klasik para staf untuk dipaksa melindungi si pengambil kebijakan.

22.30 WITA: hari yang sama
Gemuruh benturan ban pesawat dg landasan disertai goncangan keras sontak mengagetkanku yg baru saja hendak tertidur. Pendaratan dilakukan sang pilot di bandara Eltari itu menandai bahwa saya sudah sampai tujuan, Kota Kupang, NTT. Setelah pesawat terparkir, sy pun turun dr cabin. Untungnya sy membawa sluruh barang sy ke kabin, jd sy ga perlu menunggu untuk mengambil bagasi, yg kadang lumayan menyita waktu. Maklum, hari sudah malam, jd saya hrs menghemat waktu agar bisa istirahat cukup untuk besokhari melanjutkan perjalanan ke Rote Ndao.

Di Pintu exit terlihat para penjemput berkerumun di depan Pintu kedatangan, pemandangan yg sangat lumrah nyaris disemua bandara pasti bgitu. Sy pun menghampiri mereka dg harapan ada yg menawarkan jasa taksi untuk mengantarkanku untuk sekedar transit sblum besok ke Rote.
Aneh bin ajaib, tak ada seorangpun yg menawarkan taksi kpd saya. Padahal, di bandara lain, sy seringkali dipusingkan dg kerubutan para sopir taksi yg menawarkan tumpangannya. Tp di Bandara ini, senyap, tak ada seorangpun yg menyapa saya atau menanyakan mau kemana.

Mulailah mikir, jangan2 sdh tidak ada taksi, karena sudah terlalu larut. Memang jam di pergelangan kiri sy menunjukan sdh lewat jam 23, sehingga wajar kalo para supir taksi sdh tdk beroperasi .lagian pesawat yg sy tumpangi seharusnya mendarat pukul 21, tp krn delayed di Surabaya, jadinya mendarat terlambat dr jadwal yg direncanakan sebelumnya.

Sy pun mulai berpikir, skrang cuma harus meminta tolong teman untuk menjemput, krn ketiadaan taksi tsb. Belum pula selesai berpikir, terlihat ada konter kecil, bertuliskan "pemesanan taksi". Sy pun menghampirinya dg sumringah penuh harap. Dr situlah sy tahu bhw smua taksi di bandara ini, hanya bisa digunakan stelah penumpang memesan tiketnya di konter kecil tsb. Maka jangan harap bisa menggunakan taksi, kalau belum pesan dikonter itu.meskipun ada sopirnya, tp mereka ga akan mengangkut jika kita tidak membawa tiket pesanan.

Stelah sy bilang sy pesan taksi untuk ke daerah Air Nona, sypun diberikan tiket, namun ktika sy menyodorkan uang 85000 sbagaimana yg tertera ditiket, petugas itu menolaknya dan meminta pembayarannya dilakukan langsung kepada sopir.

Dengan membawa tiket itu, sy diantarkan oleh petugas ke area parkir kendaraan, yg berada tepat dihalaman kiri depan bandara ini. Disana terlihat puluhan avanza putih berplat kuning berbaris kebelakang mengantri, nunggu giliran. Sistem one window service lah yg menjadikan para taksi tersebut tertib. Smua akan mengangkut penumpangnya, jika memang pada gilirannya. Dan itu smua diatur oleh konter kecil itu. Andaikan disemua bandara bisa diatur sperti itu, sehingga penumpang tdk dipusingkan lagi dg kerumunan sopir taksi yg mengerubuti kita untuk menawarkan jasanya. Dipikir2 mirip gula yg seringkali dikerubungi semut, andaikan gula itu hidup, dia pasti akan protes juga.
Setelah diarahkan oleh petugas, sy pun menaikinya. Sy pun duduk manis disamping sopir. Tak lama, sang sopir pun menginjak pedal gasnya, dan mobilpun mulai bergerak meninggalkan bandara.
Selalu saja sy terkesan dg pemandangan yg disajikan sepanjang perjalanan meninggalkan bandara el tari. Apalagi malam ini, sang sopir taksi menjalankan kendaraannya dg tenang, menyusuri jalan mulus beraspal hitam yg nampak licin karena tersorot lampu mobil, seolah mobil ini sedang menapaki kaca yg berwarna hitam.

Ah hampir setiap jalan di ibu Kota NTT ini memang terawat dg baik.   batang-batang pepohonan pun turut menghiasi dg berdiri disisi kiri dan kanan jalan itu. Rata-rata rantingnya nyaris tak berdaun sperti akar yang terbalik. Mereka bergoyang tertiup hembusan angin akibat gerakan taksi putih yg sy tumpangi.

Menurut seorang teman, salah satu yang membuat jalanan di kupang terawat karena jarang sekali ada truk yg beroperasi disekitar kupang. Masuk akal juga, meskipuj sy sendiri belum memverifikasi kebenarannya. 

Sambil sesekali ngobrol dan menyalakan rokok, akhirnya sampai juga ke tujuan. Terimakasih pak Sopir.

Selasa, 7 okt 2014
Pagi yg cerah. Meskipun msh ngantuk krn semalaman ngobrol sampai jam 1.30 dinihari dg seorang teman, tp sy tetap harus bangun pagi untuk bersiap berangkat menuju pelabuhan Tenau, Kupang. Tepat pukul 6.15, sang ojek yg sdh dipesankan sebelumnya oleh teman dating, dan saya pun langsung berangkat menaiki kendaraan tersebut.

Udara pagi yang dingin selalu saja msnyajikan kenyamanan dan damai. Suasana jalana sepi, belum nampak aktifitas keseharian warga kupang. di beberapa ruas jalan hanya terlihat beberapa anak sekolah dasar dengan seragam khasnya sedang menunggu kendaraan yg akan mengantarkannya kesekolah. 

Ojek itupun memacu motornya dg tenang, seolah sedang menyesuaikan dg kondisi alam yg juga tenang. 30 menit kemudian sampailah saya di pelabuhan Tenau, kupang. Dengan membayar tiket masuk motor sebesar 2000 rupiah, kami pun diperbolehkan masuk area pelabuhan.

Disinipun nampak masih sepi, hanya beberapa calon penumpang dan para ibu2 yang menjajakan dagangannya, air mineral, permen dan nasi bungkus untuk sarapan. Pintu masuk ke area pelabuhan belum juga dibuka, bahkan masih digembok krn petugas karcisnya belum juga datang. 

Skedar memanfaatkan kesempatan, sy pun membeli nasi bungkus itu untuk sarapan. Dengan harga 10.000 sy bisa makan nasi putih dan telur, lumayan untuk menyiapkan energi perjalanan nanti.
Pukul 7.30, petugaspun datang, dg membayar karcis masuk 4000 rupiah, penumpang diperbolehkan masuk ka area pelabuhan. Bersegera mendatangi loket penjual karcis, sy pun membeli tiket bahari express itu di kelas vip dg membayar 190.000. 

Cukup menunggu sbntar, skitr pukul 8.30, kapal bahari express pun berangkat menuju Rote Ndao.




Rabu, 16 April 2014

Metamorfosa; Sebuah Catatan Perjalanan Hidup

Ingin jadi Dokter! hanya mimpi..
Dulu waktu kecil hingga akhir SMA bagi saya profesi yang paling ideal yang sangat saya inginkan adalah Dokter. Alasannya sederhana hanya karena dokter diberi kemampuan oleh Allah untuk berupaya membantu orang agar sembuh dari sakitnya, meskipun hakikatnya Allah pulalah yang menyembuhkan.

Motivasi untuk menjadi dokter semakin menguat ketika menyadari kenyataan bahwa dunia medis saat ini, menurut saya jarang dilakukan atas nama kemanusiaan, tetapi murni bisnis (baca:bisnis kesehatan). Betapa banyak orang yang meninggal karena tak mendapatkan pelayanan yang semestinya, atau bahkan tidak dilayani karena tidak memiliki biaya. Hal yang paling mudah kita buktikan adalah sistem pengkelasan yang ada di rumah sakit ternyata juga berimplikasi terhadap pengkelasan didalam pelayanan. Padahal seharusnya pengkelasan hanyalah sebagai alternatif bagi pengguna jasa untuk memilih fasilitas sesuai dengan kemampuan pembiayaannya. Seharusnya yang menjadi variable pengkelasan adalah fasilitas, bukan pelayanan. Pelayanan yang baik adalah hak bagi semua orang tanpa harus membedakan tingkat sosial dan ekonominya. Semuanya harus dilayani sama baiknya!

Itulah kira-kira yang melandasi dan menjadi motivasi saya untuk menjadi dokter, dengan cita-cita yang sesederhana itu. Saya ingin melayani pasien dengan sepenuh hati. kalaupun harus bertarif, tetap dilihat secara proporsional. pasien kaya akan mendapatkan tarif lebih mahal dibandingkan dengan pasien yang tidak berpunya, meskipun pelayanan dan obat yang diberikan sama. Bahkan kalau memungkinkan saya ingin sekali menggratiskan biaya berobat bagi pasien yang tidak mampu. Kebutuhan operasional dapat di cover oleh biaya dari si kaya. Konsepnya subsidi silang, si kaya ikut membantu membiayai si miskin. rasanya cukup adil!. Mungkin keberpihakan kepada kaum miskin itu muncul karena dilatarbelakangi oleh kehidupan ekonomi keluarga kami dulu yang juga menjadi bagian dari mereka.

Namun musnah kini harapan itu, seiring pilihan disiplin ilmu yang  saya jalani dulu jauh dari  dunia kedokteran. Pilihan untuk masuk fakultas peternakan diawali oleh pesimisme masalah pembiayaan yang katanya setinggi langit jika harus masuk Fakultas Kedokteran. Orang tua saya jelas-jelas tak mungkin membiayai anaknya di fakultas kedokteran yang terkenal mahal itu. Saya pun belum tidak terbayang jika harus maksain masuk di fakultas kedokteran, duit dari mana?. huhh..begitu beratnya pikiran saya ketika ambisi harus dibenturkan dengan kenyataan yang sangat bertolak belakang. bingung, sedih, marah..dan semuanya bercampur aduk..

Pada akhirnya saya harus mengambil keputusan. Fakultas Peternakan adalah pilihannya. Bukan karena pertimbangan ini dan itu seperti kebanyakan orang, tetapi lebih karena saya harus realistis mengingat saya ga akan mampu membiayai kuliah di Kedokteran. Ditambah lagi, saya tidak tahu harus memilih jurusan apa, jika tidak ke Kedokteran. Hampir tak ada yang membimbingku untuk urusan ini. Terlebih pada waktu itu hidup keluarga kami betul-betul sedang di uji. Ingin sedikit cerita saja, sebelum melanjutkan tema ini..

Pasca Lulus SMU
setelah mendapatkan Ijazah dari SMU, langsung pikiran saya dihinggapi kebingungan yang amat sangat. Cita-cita saya sebetulnya ingin menjadi seorang dokter, tapi kan harus kuliah, sementara saat itu, sangat tidak memungkinkan untuk kuliah. Entah apa yang harus saya lakukan, kalau mau berwira usaha harus punya modal, sementara kalaupun bekerja, perusahaan apa yang mau menerima pegawai lulusan SMU? . streess..mumet dan pikiran saya semakin tak menentu. Tapi satu tekadku, saya harus hidup dengan usaha saya sendiri!, terlebih lagi pada waktu itu saya ga tahu harus minta tolong kepada siapa. Bismillah, saya tapaki jalan manapun, sebagai suatu usaha. Akhirnya saya mulai berpikir untuk berangkat ke Bandung, mengikuti Sodara yang bekerja di sebuah pabrik di Bandung. Berangkatlah saya ke bandung, tepatnya ke daerah Rancaekek, berbekal harapan dan Ijazah SMU dengan nilai yang pas-pas-an.

Mendengarkan saran dari sodara yang ada di bandung pada waktu itu, bahwa mendingan datang aja ke tiap pabrik. siapa tahu ada lowongan. Optimisme saya pun semakin menjadi, dan semakin bersemangat untuk menghadapi tantangan ini.

Pagi yang cerah, sayapun bersiap-siap untuk berangkat. menggunakan Sepatu yang dibeli Orang Tua saya di emperan pasar Singaparna, itu pantopel lho..yang membuat telapak kaki saya luka gara-gara hak nya langsung bersentuhan dengan telapak kaki.  Saya memulai menyusuri pabrik dari arah Cipacing/dangdeur. "Sweeping" saya mulai dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar daerah dangdeur.

Hampir setiap pabrik saya sambangi, kecuali pabrik yang di gerbangnya sudah tertulis "tidak ada lowongan". Tanggapan tiap pabrikpun bervariasi, ada yang menolak dengan halus dengan mengatakan " maaf de, disini belum ada lowongan" enak rasanya terdengar dikuping meskipun yang mengatakan seorang satpam di depan pintu masuk (tidak satupun pabrik yang mempersilahkan masuk ke area..hiks..hiks). Tak Jarang juga yang bersikap ketus" ga ada..ga ada lowongan!!" dengan setengah mengusir. Itu semua kujalani sambil menyadari bahwa inilah "realitas hidup yang sesungguhnya". Kemeja yang awalnya kutata rapih, lama-kelamaan semakin kusut dan lusuh karena bermandikan keringat. Berjalanpun lama-kelamaan tak lagi tegak, hampir terpincang-pincang karena kaki kanan dan kiriku lecet.

Tak terasa langkah kaki saya telah sampai di pabrik Coca cola (cicalengka), daerah yang paling ujung (mungkin). Yang pasti pabrik itu sudah dekat sekali dengan daerah Nagreg. Dipabrik yang besar ini pun tanggapannya sama. Tak ada Lowongan!. dengan penuh kekecewaan akhirnya saya pulang ke kampung halaman. Saya tak kuasa menahan malu sama orang tua saya. Ternyata saya tak ada harganya sama sekali bagi pabrik-pabrik itu. Sayapun tak tahu lagi harus berbuat apa. Terlebih lagi saya kasihan sama ortuku, pada saat itu, keadaan ekonomi keluarga kami sangat tidak menguntungkasn. Keberadaan saya diantara mereka hanya menjadi beban keluarga saja.

Menjajal sebagai sales jam weker Rp. 15.000
Hari demi hari kujalani, sambil sya membantu ibu dengan menunggu warung kecilnya, aktifitas mencari informasi lowongan pekerjaan itu tetap saya lakukan, dengan membaca iklan di koran Pikiran Rakyat tiap hari sabtu. Sampai Suatu ketika, saya menemukan ada informasi di koran tentang lowongan pekerjaan di suatu daerah di Tasik, wah ini kesempatan bagus, pikir saya. Lagian didalam iklan itu bilang bahwa lamaran harus dibawa langsung untuk sekaligus diwawancara. Tak jelas memang kerjaannya seperti apa, tapi saya bertekad untuk datang langsung dengan berbekal map lusuh yang berisi ijazah dan surat lamaran yang saya tulis dengan tangan sendiri.

Singkat cerita, sayapun (katanya) diterima di pekerjaan itu..dan mereka menjanjikan uang komisi. Tetapi uang transport dan gaji/komisi akan sesuai dengan nilai penjualan yang telah dilakukan. waktu itu saya ga ngerti beban kerjanya seperti apa, termasuk juga kompensasi yang diberikan itu maksudnya bagaimana. Ah yang penting saya jalani dulu.

Mulailah keesokan harinya, saya (ceritanya) di training dengan terjun langsung ke lapangan., ditemani sesorang yang dianggap senior di pekerjaan itu. Rasanya semangat sekali waktu itu. Sebut saja X, awalnya ga tahu apa yang si X bawa, dan ga tahu apa yang akan dia ajarkannya kepada saya. Ternyata suatu ketika si X bawa beberapa jam weker warna warni, obeng dan semacamnya. Dia bilang bahwa kita harus berhasil menjual peralatan-peralatan itu, dengan cara door to door. Hufff..saya ga nyangka bahwa ternyata yang dimaksud training itu adalah menemaninya menjual barang-barang itu. Terlebih biaya ongkos transport dan makan menjadi tanggungan masing-masing..sayapun berpikir bahwa ga mungkin saya mengeluarkan biaya untuk ongkos dan makan sendiri, sementara saya ga punya uang. Parahnya, waktu itu tak satupun barang itu terjual. Ngerasa ditipu, ortu sayapun melarang untuk meneruskan kerjaan itu, meskipun waktu itu saya masih punya nyali untuk meneruskannya. Saya bukan tipe orang yang memilih-milih pekerjaan, asalkan jelas, pasti akan saya jalani.

Bertahan Hidup di cianjur..
setelah saya gagal mencari pekerjaan di seantero jagat yang luasnya tak lebih dari pikiranku yang sempit, sayapun mulai mengeluh..aktifitas saya hanyalah menghisap rokok-rokok murahan yang ada di warung kecil ibu saya. Jarum coklat sudah sangat mewah bagi saya waktu itu. Terkadang kalo rasa malu lagi muncul, saya pun hanya menghisap gulungan tembakau yang kubungkus dengan kertas papir, biar hemat pikir saya.

Entah awalnya bagaimana, suatu ketika ibu sya bilang bhw di Cianjur sodara buka wartel. Nah
katanya butuh operator, dan menawarkan kesempatan itu pada saya. Alhamdulillah, meskipun sejujurnya saya tak mengidolakan untuk tinggal di kota itu, bahkan sebisa mungkin ingin menghindarinya. Tapi saya ga punya pilihan lain. Alhasil saya pun jadi operator wartel kecil di daerah cipanas cianjur.

Setelah sekian lama jadi operator wartel, kenalan saya semakin banyak.mulai dari tetangga sekitar, tukang ojek, karena kebetulan wartel itu berdampingan dengan pangkalan ojek, hingga dengan para pelanggan yang bermacam-macam. Disitu pula saya kenal dengan seseorang yang sedang berinvestasi di kampung tetangga, kebetulan dia sering menggunakan jasa wartel saya. Menurut saya orangnya sangat baik. O,ya ada juga orang yang sangat setia menemani saya di wartel itu, saya ingat, namanya Nadir, seseorang yang dianggap gila oleh orang sekitar. Meskipun begitu, bagi saya dia sangat menyenangkan karena sering menemani saya ngobrol meskipun sering tidak nyambung. Orang yang dianggap gila itu, bagi saya sangat mengesankan, rasanya saya ingin sekali ketemu dia lagi. Tapi bukan itu poin yang ingin diceritakan dalam tulisan ini.

Cita-cita Luhur; Tapi Wajib Realistis
setelah sekian lama menjadi operator, tibalah saatnya musim pergantian tahun ajaran baru. Tekad lama saya untuk kuliah muncul kembali. Sayapun mulai belajar lagi, membuka-buka lagi catatan sambil menunggu pelanggan datang. Niat saya hanya ingin berusaha melanjutkan sekolah (alias kuliah). "ah jurusannya apa sajalah yang penting kuliah". Dengan kuliah "apapun" jurusannya, yang penting mudah-mudahan bisa mengubah taraf hidup keluarga kami, begitu pikiran sederhana saya waktu itu. Keinginan terbesar saya adalah ingin jadi dokter, alasannya sudah kukemukakan di awal tulisan ini, tetapi sebagai orang kampung udik, yang ga punya wawasan, apalagi harta, saya ga yakin bisa kuliah di Kedokteran.

Hasil dari pergulatan pikiran itu (cieee bahasanya "gulat"), menggiring saya untuk mendaftar di Universitas Winaya Mukti, Jatinangor Sumedang, salah satu perguruan tinggi swasta di bandung. berangkat dari cianjur, bersama seorang teman (namanya Riki) yang juga mendaftar ditempat yang sama. Sampai di kampus UNWIM sore hari menjelang magrib, dan kami berduapun menginap di sekretariat salah satu organisasi kemahasiswaan (aku lupa namanya), kebetulan pengurusnya, mempersilahkan kami untuk menginap di sekre tersebut, sambil menunggu waktu pendaftaran keesokan harinya. dan kami pun menginap di sekre tersebut, dengan beralaskan tikar dan berbantalkan tas punggung yang kami bawa.

Keesokan harinya, kamipun ikut mengantri untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa. waktu itu saya memilih jurusan pertanian, alasannya biar ada ilmu terapan yang bisa saya gunakan untuk membiayai kuliahku. Khayalan saya, selama saya kuliah kelak, saya bisa tinggal di mesjid saja biar ga usah nge kost, lalu saya bisa berkebun bawang, kol dll, dihalaman sekitar mesjid, mudah2an imam mesjidnya mengizinkan. Hasilnya bisa saya jual dan mudah2an bisa buat biaya kuliah (sederhana sekali ya..heheheh)

Satu hal yang sangat saya ingat waktu itu, ketika kami berdua di kampus unwim, kebetulan dari situ terlihat kampus unpad yang sangat megah, luas dan gagah. Tanpa sadar saya ngomong sama teman saya itu "Ki, engke mah urang rek kuliah diditu tuh" sambil menunjuk kampus unpad. Dia hanya tertawa ngeledek heheheh. Mungkin omongan itulah yang didengar sama Allah sebagai Do'a.

Mandaftar UMPTN:
Pengumuman kelulusan pendaftaran di Unwim pun tiba, dan Alhamdulillah saya keterima di Unwim. saya ingat waktu itu, bersamaan dengan saat saat pendaftaran UMPTN. Bersyukur pada Allah yang tak pernah henti, karena selangkah lagi saya akan menjadi Mahasiswa, meskipun di Unwim, sebuah langkah kecil untuk mengubah hidup keluarga kami.


Tibalah saatnya menentukan jurusan apa yang akan dipilih. Tanpa pikir panjang, waktu itu saya memilih jurusan Peternakan Universitas Padjadjaran. Alasannya sederhana, karena menurut salah satu tetangga wartel tempat saya bekerja, lulusan peternakan sangat mudah untuk bekerja dan kuliahnya juga menyenangkan. Sesederhana itulah keputusan saya untuk memilih jurusan peternakan, ga punya pertimbangan lain (naiif banget y hehehe).

Jurusan sudah ditentukan, motivasi saya untuk kuliah semakin terpacu. Namun ada satu masalah baru yang harus saya pikirkan. Bagaimana caranya agar saya bisa daftar UMPTN, ikutan ujian di Bandung, dan selanjutnya membiayai kuliah (jika ternyata berhasil lulus)? Dzigggg...pusing tujuh keliling..

Berkhayal membiayai kuliah
Entah karena naif atau terlalu banyak berkhayal. untuk biaya kuliah, Saya pikir bisa membiayai kuliah dengan berbisnis apapun, termasuk sayapun ga perlu tinggal ditempat kost, mendingan tinggal di mesjid, mudah2an ada kebun atau pekarangan yang bisa kujadikan kebun, sekedar bertanam sayur-sayuran dll untuk kemudian saya jual lagi kalo panen sudah tiba. Bgitulah khayalan saya. Atau sayapun bisa jualan apa-aja..yang penting halal. termasuk sayapun bisa jadi sopir angkot (meskipun waktu itu saya belum bisa nyetir :p). heheheh..duh jadi bernostalgia*agakmulaiberkaca-kaca.
Anehnya khayalan itu sangat dominan dalam memotivasi saya untuk melanjutkan keinginan untuk kuliah. Semakin hari keinginan saya semakin besar.

Alhamdulillah, untuk keberangkatan saya ke Bandung, saya mendapat rezeki dari seorang teman (pelanggan wartel, yang menjadi teman). Namanya bang Agung (Jazakallahu Khairon Katsiron, semoga Allah membalas segala kebaikannya). Dari beliaulah saya mendapatkan uang sebesar Rp. 50.000.-sebagai upah atas jasa saya yang telah membantu menagihkan hutang dari seseorang yang menjadi rekan bisnisnya. Bagi saya saat itu, uang itu luarbiasa bernilainya...tanpa uang itu, mungkin saya tidak akan seperti sekarang. Allahuakbar!! Allah memang maha pemberi rizki...(jadi sedih mengingat waktu itu...hiks hiks..hiks)

Lantas bagaimana dengan biaya pendaftaran UMPTN nya??untungnya untuk membayar biaya pendaftaran UMPTN yang besarnya Rp.75.000.-(kalo ga salah), saya punya sedikit celengan, yang kukumpulkan dari recehan sisa kembalian dari pelanggan wartel..sungguh celengan itu sangat membantu.

UMPTN
Berangkatlah saya ke Bandung pada H-1, bersama seorang teman yang juga mau ikut test keesokan harinya. Menginap di sekitar Jl Tamansari tempat kost temen2 SMA yang sudah duluan kuliah..(Alhamdulillah aku dapat tumpangan). Malam itu tak digunakan untuk belajar, hanya maen, ngobrol melepas kangen, dibumbui dengan gelak tawa..maklum lama tak ketemu..(plus sambil maen gapleh /domino seruuu bgt..).

Ada kejadian yang tak saya lupa hingga saat ini. Malam itu, sekitar pukul 11an, temen saya (tuan rumah) terserang penyakit maagh..hingga muntah-muntah.. dengan muka pucat (seperti sekarat, lebay) dan kita semua panik. segala macam obat warungan dah di coba untuk mengibati penyakitnya, tapi dia tetap muntah-muntah..akhirnya kita semua memutuskan untuk membawanya ke klinik (Kimia farma disekitar BIP) yang buka 24 jam.

Sialnya, malam itu sudah ga ada angkot yang lewat. Akhirnya kita memutuskan untuk menggendongnya ke klinik tersebut. dan sayalah yang menggendongnya, karena pada waktu itu badan saya dianggap paling besar dibandingkan dengan teman lainnya.
Dengan tergopoh-gopoh saya pun menggendongnya menyusuri jalan tamansari...hingga klinik KF 24 jam itu, yang kurang lebih jaraknya tak kurang dari 1 kilometer. Keringat dinginpun bercucuran, (semakin dingin diterpa hembusan angin malam) karena lumayan berat juga menggendong dan berjalan jauh di suasana jalan yang sepi dan dingin malam itu.

Singkat cerita, sampailah ke Klinik tersebut. Dan Alhamdulillah klinik itu dengan sigap mengobati temanku itu. Dan keesokan harinya sayapun menjalani test dengan lancar yang membawa saya ke kelulusan di Jurusan Peternakan Universitas Padjadjaran.

Kekuatan  Do'a
Bahagia sekali saat kutahu dari koran, bahwa saya menjadi salah satu orang yang lulus masuk UNPAD..yeee Alhamdulillah, Allahuakbar..yakin seyakin-yakinnya karenaNya lah saya bisa keterima di Unpad. Kebahagiaan yang sangat luar biasa saya rasakan waktu itu, keinginan untuk kuliah di Unpad pun kini sudah didepan mata.

Saya tidak merasa pintar, atau terkategori cerdas yang tanpa belajar di Bimbel bisa lulus dan keterima di PTN ini. saya hanya punya obsesi untuk bisa kuliah di PTN, namun tak punya modal untuk belajar bimbel atau  sejenisnya, dimana pada waktu itu rata-rata yang lulus PTN, sebelumnya pasti ikut bimbel. Saya hanya mengandalkan usaha semampu saya dengan belajar sendiri tanpa ada pembimbing sama sekali.

Sambil melayani pelanggan wartel, tak jarang saya buka-buka buku catatan semasa SMA dulu, dan berlatih soal-soal UMPTN tahun sebelumnya. saya tidak tahu sejauhmana pengaruh dari gaya belajar saya tersebut mampu membawaku ke kelulusan UMPTN. Dengan buku catatan yang seadanya, dan kemampuan otaku yang tidak secerdas einstein (ya iyaaalah..:), saya tak yakin jika itu menjadi fakttor penentunya.

Hal yang saya yakini adalah betul-betul faktor pertolongan Allah SWT.., dan do'a orang lain. memang, hampir setiap orang yang saya temui, baik itu pelanggan wartel, atau sekedar baru ketemu di angkot/bis, saya menceritakan tentang niatku untuk ikut UMPTN dan tak segan-segan memohon doa mereka. Hampir tiap orang baru yang kutemui, pasti kuminta do'anya. Rasa malu menjadi hilang begitu saja, ditutupin oleh keinginan yang semakin menggebu..saya tak pedulikan lagi apa anggapan orang kepada saya, saya hanya minta untuk didoakan saja, meskipun mereka tidak mengenal saya.

aaah..itulah kekuatan Doa


Kuliah formal di FAPET UNPAD, Nimba Ilmu kehidupan di Organisasi
Mulailah saya registrasi mengurus perkuliahan saya seorang diri di Fapet unpad. Dengan modal bekal uang dari ortu yang seadanya , berangkatlah saya ke Dipati Ukur, Bandung (waktu itu rektorat unpad di DU), untuk mengikuti berbagai proses dan tahapan penerimaan di Unpad. disaat yang sama saya bertemu dengan seorang kenalan yang katanya keterima juga di jurusan fapet unpad, alhamdulillah,,merasa punya teman senasib.
Tahun pertama saya jalani dengan asyik, menginjak tahun kedua, disaat mata kuliah sudah lebih menjurus ke Peternakan saya merasa tidak berada ditempat yang tepat. Saya kecewa, karena ternyata saya tidak mampu menyukai dunia peternakan. Tapi saya ga mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini, saya tak mungkin keluar dari fapet untuk mencoba kuliah lagi ditempat lain, meskipun banyak rekan-rekan saya yang melakukannya. Karena saya sadar, keadaanku dengan mereka sangat berbeda, saya kuliah ke fapet dengan susah payah. sementara bagi mereka mungkin mudah untuk dilakukan, karena memiliki sumber daya yang memadai, khususnya dari aspek ekonomi. Kalau saya keluar, belum tentu saya beruntung bisa kuliah lagi ditempat lain.

Saya pun merenung, dan saya bertekad untuk terus meneruskan kuliah hingga tuntas. Namun untuk mengimbanginya, sy harus berorganisasi agar setelah lulus saya memiliki kemampuan dan pengalaman yang memudahkan saya untuk bekerja nantinya. Alhasil saya menjalani kuliah difapet dan menimba ilmu di organisasi. Hikmahnya, dari Organisasi pula, selain pengalaman, saya mendapatkan banyak peluang untuk mendapatkan uang melalui proyek kecil-kecilan. Kehidupan kuliaah saya tetap jalani, saya tetap mengupayakan agar mampu menjawab soal-soal ujian. Saya pun selama kuliah tetap berhubungan baik dengan dosen-dosen, ketua jurusan, dekanat bahkan rektorat. Dari hubungan baik itulah, saya sangat terbantu untuk menyelesaikan kuliah bahkan tak jarang beban biaya kuliah pun, seperti untuk penelitian skripsi dibantu pembiayaannya oleh mereka. Mungkin merekalah sebagian orang yang sangat berjasa dalam hidup saya.
 
Kini saya sudah hampir 10 tahun lulus dari Unpad, bekerja di salah satu NGO sebagaimana kecenderungan minat saya, berpenghasilan cukup, memiliki 3 anak dan 1 istri yang luar biasa. Alhamdulillah..