Rabu, 16 April 2014

Metamorfosa; Sebuah Catatan Perjalanan Hidup

Ingin jadi Dokter! hanya mimpi..
Dulu waktu kecil hingga akhir SMA bagi saya profesi yang paling ideal yang sangat saya inginkan adalah Dokter. Alasannya sederhana hanya karena dokter diberi kemampuan oleh Allah untuk berupaya membantu orang agar sembuh dari sakitnya, meskipun hakikatnya Allah pulalah yang menyembuhkan.

Motivasi untuk menjadi dokter semakin menguat ketika menyadari kenyataan bahwa dunia medis saat ini, menurut saya jarang dilakukan atas nama kemanusiaan, tetapi murni bisnis (baca:bisnis kesehatan). Betapa banyak orang yang meninggal karena tak mendapatkan pelayanan yang semestinya, atau bahkan tidak dilayani karena tidak memiliki biaya. Hal yang paling mudah kita buktikan adalah sistem pengkelasan yang ada di rumah sakit ternyata juga berimplikasi terhadap pengkelasan didalam pelayanan. Padahal seharusnya pengkelasan hanyalah sebagai alternatif bagi pengguna jasa untuk memilih fasilitas sesuai dengan kemampuan pembiayaannya. Seharusnya yang menjadi variable pengkelasan adalah fasilitas, bukan pelayanan. Pelayanan yang baik adalah hak bagi semua orang tanpa harus membedakan tingkat sosial dan ekonominya. Semuanya harus dilayani sama baiknya!

Itulah kira-kira yang melandasi dan menjadi motivasi saya untuk menjadi dokter, dengan cita-cita yang sesederhana itu. Saya ingin melayani pasien dengan sepenuh hati. kalaupun harus bertarif, tetap dilihat secara proporsional. pasien kaya akan mendapatkan tarif lebih mahal dibandingkan dengan pasien yang tidak berpunya, meskipun pelayanan dan obat yang diberikan sama. Bahkan kalau memungkinkan saya ingin sekali menggratiskan biaya berobat bagi pasien yang tidak mampu. Kebutuhan operasional dapat di cover oleh biaya dari si kaya. Konsepnya subsidi silang, si kaya ikut membantu membiayai si miskin. rasanya cukup adil!. Mungkin keberpihakan kepada kaum miskin itu muncul karena dilatarbelakangi oleh kehidupan ekonomi keluarga kami dulu yang juga menjadi bagian dari mereka.

Namun musnah kini harapan itu, seiring pilihan disiplin ilmu yang  saya jalani dulu jauh dari  dunia kedokteran. Pilihan untuk masuk fakultas peternakan diawali oleh pesimisme masalah pembiayaan yang katanya setinggi langit jika harus masuk Fakultas Kedokteran. Orang tua saya jelas-jelas tak mungkin membiayai anaknya di fakultas kedokteran yang terkenal mahal itu. Saya pun belum tidak terbayang jika harus maksain masuk di fakultas kedokteran, duit dari mana?. huhh..begitu beratnya pikiran saya ketika ambisi harus dibenturkan dengan kenyataan yang sangat bertolak belakang. bingung, sedih, marah..dan semuanya bercampur aduk..

Pada akhirnya saya harus mengambil keputusan. Fakultas Peternakan adalah pilihannya. Bukan karena pertimbangan ini dan itu seperti kebanyakan orang, tetapi lebih karena saya harus realistis mengingat saya ga akan mampu membiayai kuliah di Kedokteran. Ditambah lagi, saya tidak tahu harus memilih jurusan apa, jika tidak ke Kedokteran. Hampir tak ada yang membimbingku untuk urusan ini. Terlebih pada waktu itu hidup keluarga kami betul-betul sedang di uji. Ingin sedikit cerita saja, sebelum melanjutkan tema ini..

Pasca Lulus SMU
setelah mendapatkan Ijazah dari SMU, langsung pikiran saya dihinggapi kebingungan yang amat sangat. Cita-cita saya sebetulnya ingin menjadi seorang dokter, tapi kan harus kuliah, sementara saat itu, sangat tidak memungkinkan untuk kuliah. Entah apa yang harus saya lakukan, kalau mau berwira usaha harus punya modal, sementara kalaupun bekerja, perusahaan apa yang mau menerima pegawai lulusan SMU? . streess..mumet dan pikiran saya semakin tak menentu. Tapi satu tekadku, saya harus hidup dengan usaha saya sendiri!, terlebih lagi pada waktu itu saya ga tahu harus minta tolong kepada siapa. Bismillah, saya tapaki jalan manapun, sebagai suatu usaha. Akhirnya saya mulai berpikir untuk berangkat ke Bandung, mengikuti Sodara yang bekerja di sebuah pabrik di Bandung. Berangkatlah saya ke bandung, tepatnya ke daerah Rancaekek, berbekal harapan dan Ijazah SMU dengan nilai yang pas-pas-an.

Mendengarkan saran dari sodara yang ada di bandung pada waktu itu, bahwa mendingan datang aja ke tiap pabrik. siapa tahu ada lowongan. Optimisme saya pun semakin menjadi, dan semakin bersemangat untuk menghadapi tantangan ini.

Pagi yang cerah, sayapun bersiap-siap untuk berangkat. menggunakan Sepatu yang dibeli Orang Tua saya di emperan pasar Singaparna, itu pantopel lho..yang membuat telapak kaki saya luka gara-gara hak nya langsung bersentuhan dengan telapak kaki.  Saya memulai menyusuri pabrik dari arah Cipacing/dangdeur. "Sweeping" saya mulai dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar daerah dangdeur.

Hampir setiap pabrik saya sambangi, kecuali pabrik yang di gerbangnya sudah tertulis "tidak ada lowongan". Tanggapan tiap pabrikpun bervariasi, ada yang menolak dengan halus dengan mengatakan " maaf de, disini belum ada lowongan" enak rasanya terdengar dikuping meskipun yang mengatakan seorang satpam di depan pintu masuk (tidak satupun pabrik yang mempersilahkan masuk ke area..hiks..hiks). Tak Jarang juga yang bersikap ketus" ga ada..ga ada lowongan!!" dengan setengah mengusir. Itu semua kujalani sambil menyadari bahwa inilah "realitas hidup yang sesungguhnya". Kemeja yang awalnya kutata rapih, lama-kelamaan semakin kusut dan lusuh karena bermandikan keringat. Berjalanpun lama-kelamaan tak lagi tegak, hampir terpincang-pincang karena kaki kanan dan kiriku lecet.

Tak terasa langkah kaki saya telah sampai di pabrik Coca cola (cicalengka), daerah yang paling ujung (mungkin). Yang pasti pabrik itu sudah dekat sekali dengan daerah Nagreg. Dipabrik yang besar ini pun tanggapannya sama. Tak ada Lowongan!. dengan penuh kekecewaan akhirnya saya pulang ke kampung halaman. Saya tak kuasa menahan malu sama orang tua saya. Ternyata saya tak ada harganya sama sekali bagi pabrik-pabrik itu. Sayapun tak tahu lagi harus berbuat apa. Terlebih lagi saya kasihan sama ortuku, pada saat itu, keadaan ekonomi keluarga kami sangat tidak menguntungkasn. Keberadaan saya diantara mereka hanya menjadi beban keluarga saja.

Menjajal sebagai sales jam weker Rp. 15.000
Hari demi hari kujalani, sambil sya membantu ibu dengan menunggu warung kecilnya, aktifitas mencari informasi lowongan pekerjaan itu tetap saya lakukan, dengan membaca iklan di koran Pikiran Rakyat tiap hari sabtu. Sampai Suatu ketika, saya menemukan ada informasi di koran tentang lowongan pekerjaan di suatu daerah di Tasik, wah ini kesempatan bagus, pikir saya. Lagian didalam iklan itu bilang bahwa lamaran harus dibawa langsung untuk sekaligus diwawancara. Tak jelas memang kerjaannya seperti apa, tapi saya bertekad untuk datang langsung dengan berbekal map lusuh yang berisi ijazah dan surat lamaran yang saya tulis dengan tangan sendiri.

Singkat cerita, sayapun (katanya) diterima di pekerjaan itu..dan mereka menjanjikan uang komisi. Tetapi uang transport dan gaji/komisi akan sesuai dengan nilai penjualan yang telah dilakukan. waktu itu saya ga ngerti beban kerjanya seperti apa, termasuk juga kompensasi yang diberikan itu maksudnya bagaimana. Ah yang penting saya jalani dulu.

Mulailah keesokan harinya, saya (ceritanya) di training dengan terjun langsung ke lapangan., ditemani sesorang yang dianggap senior di pekerjaan itu. Rasanya semangat sekali waktu itu. Sebut saja X, awalnya ga tahu apa yang si X bawa, dan ga tahu apa yang akan dia ajarkannya kepada saya. Ternyata suatu ketika si X bawa beberapa jam weker warna warni, obeng dan semacamnya. Dia bilang bahwa kita harus berhasil menjual peralatan-peralatan itu, dengan cara door to door. Hufff..saya ga nyangka bahwa ternyata yang dimaksud training itu adalah menemaninya menjual barang-barang itu. Terlebih biaya ongkos transport dan makan menjadi tanggungan masing-masing..sayapun berpikir bahwa ga mungkin saya mengeluarkan biaya untuk ongkos dan makan sendiri, sementara saya ga punya uang. Parahnya, waktu itu tak satupun barang itu terjual. Ngerasa ditipu, ortu sayapun melarang untuk meneruskan kerjaan itu, meskipun waktu itu saya masih punya nyali untuk meneruskannya. Saya bukan tipe orang yang memilih-milih pekerjaan, asalkan jelas, pasti akan saya jalani.

Bertahan Hidup di cianjur..
setelah saya gagal mencari pekerjaan di seantero jagat yang luasnya tak lebih dari pikiranku yang sempit, sayapun mulai mengeluh..aktifitas saya hanyalah menghisap rokok-rokok murahan yang ada di warung kecil ibu saya. Jarum coklat sudah sangat mewah bagi saya waktu itu. Terkadang kalo rasa malu lagi muncul, saya pun hanya menghisap gulungan tembakau yang kubungkus dengan kertas papir, biar hemat pikir saya.

Entah awalnya bagaimana, suatu ketika ibu sya bilang bhw di Cianjur sodara buka wartel. Nah
katanya butuh operator, dan menawarkan kesempatan itu pada saya. Alhamdulillah, meskipun sejujurnya saya tak mengidolakan untuk tinggal di kota itu, bahkan sebisa mungkin ingin menghindarinya. Tapi saya ga punya pilihan lain. Alhasil saya pun jadi operator wartel kecil di daerah cipanas cianjur.

Setelah sekian lama jadi operator wartel, kenalan saya semakin banyak.mulai dari tetangga sekitar, tukang ojek, karena kebetulan wartel itu berdampingan dengan pangkalan ojek, hingga dengan para pelanggan yang bermacam-macam. Disitu pula saya kenal dengan seseorang yang sedang berinvestasi di kampung tetangga, kebetulan dia sering menggunakan jasa wartel saya. Menurut saya orangnya sangat baik. O,ya ada juga orang yang sangat setia menemani saya di wartel itu, saya ingat, namanya Nadir, seseorang yang dianggap gila oleh orang sekitar. Meskipun begitu, bagi saya dia sangat menyenangkan karena sering menemani saya ngobrol meskipun sering tidak nyambung. Orang yang dianggap gila itu, bagi saya sangat mengesankan, rasanya saya ingin sekali ketemu dia lagi. Tapi bukan itu poin yang ingin diceritakan dalam tulisan ini.

Cita-cita Luhur; Tapi Wajib Realistis
setelah sekian lama menjadi operator, tibalah saatnya musim pergantian tahun ajaran baru. Tekad lama saya untuk kuliah muncul kembali. Sayapun mulai belajar lagi, membuka-buka lagi catatan sambil menunggu pelanggan datang. Niat saya hanya ingin berusaha melanjutkan sekolah (alias kuliah). "ah jurusannya apa sajalah yang penting kuliah". Dengan kuliah "apapun" jurusannya, yang penting mudah-mudahan bisa mengubah taraf hidup keluarga kami, begitu pikiran sederhana saya waktu itu. Keinginan terbesar saya adalah ingin jadi dokter, alasannya sudah kukemukakan di awal tulisan ini, tetapi sebagai orang kampung udik, yang ga punya wawasan, apalagi harta, saya ga yakin bisa kuliah di Kedokteran.

Hasil dari pergulatan pikiran itu (cieee bahasanya "gulat"), menggiring saya untuk mendaftar di Universitas Winaya Mukti, Jatinangor Sumedang, salah satu perguruan tinggi swasta di bandung. berangkat dari cianjur, bersama seorang teman (namanya Riki) yang juga mendaftar ditempat yang sama. Sampai di kampus UNWIM sore hari menjelang magrib, dan kami berduapun menginap di sekretariat salah satu organisasi kemahasiswaan (aku lupa namanya), kebetulan pengurusnya, mempersilahkan kami untuk menginap di sekre tersebut, sambil menunggu waktu pendaftaran keesokan harinya. dan kami pun menginap di sekre tersebut, dengan beralaskan tikar dan berbantalkan tas punggung yang kami bawa.

Keesokan harinya, kamipun ikut mengantri untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa. waktu itu saya memilih jurusan pertanian, alasannya biar ada ilmu terapan yang bisa saya gunakan untuk membiayai kuliahku. Khayalan saya, selama saya kuliah kelak, saya bisa tinggal di mesjid saja biar ga usah nge kost, lalu saya bisa berkebun bawang, kol dll, dihalaman sekitar mesjid, mudah2an imam mesjidnya mengizinkan. Hasilnya bisa saya jual dan mudah2an bisa buat biaya kuliah (sederhana sekali ya..heheheh)

Satu hal yang sangat saya ingat waktu itu, ketika kami berdua di kampus unwim, kebetulan dari situ terlihat kampus unpad yang sangat megah, luas dan gagah. Tanpa sadar saya ngomong sama teman saya itu "Ki, engke mah urang rek kuliah diditu tuh" sambil menunjuk kampus unpad. Dia hanya tertawa ngeledek heheheh. Mungkin omongan itulah yang didengar sama Allah sebagai Do'a.

Mandaftar UMPTN:
Pengumuman kelulusan pendaftaran di Unwim pun tiba, dan Alhamdulillah saya keterima di Unwim. saya ingat waktu itu, bersamaan dengan saat saat pendaftaran UMPTN. Bersyukur pada Allah yang tak pernah henti, karena selangkah lagi saya akan menjadi Mahasiswa, meskipun di Unwim, sebuah langkah kecil untuk mengubah hidup keluarga kami.


Tibalah saatnya menentukan jurusan apa yang akan dipilih. Tanpa pikir panjang, waktu itu saya memilih jurusan Peternakan Universitas Padjadjaran. Alasannya sederhana, karena menurut salah satu tetangga wartel tempat saya bekerja, lulusan peternakan sangat mudah untuk bekerja dan kuliahnya juga menyenangkan. Sesederhana itulah keputusan saya untuk memilih jurusan peternakan, ga punya pertimbangan lain (naiif banget y hehehe).

Jurusan sudah ditentukan, motivasi saya untuk kuliah semakin terpacu. Namun ada satu masalah baru yang harus saya pikirkan. Bagaimana caranya agar saya bisa daftar UMPTN, ikutan ujian di Bandung, dan selanjutnya membiayai kuliah (jika ternyata berhasil lulus)? Dzigggg...pusing tujuh keliling..

Berkhayal membiayai kuliah
Entah karena naif atau terlalu banyak berkhayal. untuk biaya kuliah, Saya pikir bisa membiayai kuliah dengan berbisnis apapun, termasuk sayapun ga perlu tinggal ditempat kost, mendingan tinggal di mesjid, mudah2an ada kebun atau pekarangan yang bisa kujadikan kebun, sekedar bertanam sayur-sayuran dll untuk kemudian saya jual lagi kalo panen sudah tiba. Bgitulah khayalan saya. Atau sayapun bisa jualan apa-aja..yang penting halal. termasuk sayapun bisa jadi sopir angkot (meskipun waktu itu saya belum bisa nyetir :p). heheheh..duh jadi bernostalgia*agakmulaiberkaca-kaca.
Anehnya khayalan itu sangat dominan dalam memotivasi saya untuk melanjutkan keinginan untuk kuliah. Semakin hari keinginan saya semakin besar.

Alhamdulillah, untuk keberangkatan saya ke Bandung, saya mendapat rezeki dari seorang teman (pelanggan wartel, yang menjadi teman). Namanya bang Agung (Jazakallahu Khairon Katsiron, semoga Allah membalas segala kebaikannya). Dari beliaulah saya mendapatkan uang sebesar Rp. 50.000.-sebagai upah atas jasa saya yang telah membantu menagihkan hutang dari seseorang yang menjadi rekan bisnisnya. Bagi saya saat itu, uang itu luarbiasa bernilainya...tanpa uang itu, mungkin saya tidak akan seperti sekarang. Allahuakbar!! Allah memang maha pemberi rizki...(jadi sedih mengingat waktu itu...hiks hiks..hiks)

Lantas bagaimana dengan biaya pendaftaran UMPTN nya??untungnya untuk membayar biaya pendaftaran UMPTN yang besarnya Rp.75.000.-(kalo ga salah), saya punya sedikit celengan, yang kukumpulkan dari recehan sisa kembalian dari pelanggan wartel..sungguh celengan itu sangat membantu.

UMPTN
Berangkatlah saya ke Bandung pada H-1, bersama seorang teman yang juga mau ikut test keesokan harinya. Menginap di sekitar Jl Tamansari tempat kost temen2 SMA yang sudah duluan kuliah..(Alhamdulillah aku dapat tumpangan). Malam itu tak digunakan untuk belajar, hanya maen, ngobrol melepas kangen, dibumbui dengan gelak tawa..maklum lama tak ketemu..(plus sambil maen gapleh /domino seruuu bgt..).

Ada kejadian yang tak saya lupa hingga saat ini. Malam itu, sekitar pukul 11an, temen saya (tuan rumah) terserang penyakit maagh..hingga muntah-muntah.. dengan muka pucat (seperti sekarat, lebay) dan kita semua panik. segala macam obat warungan dah di coba untuk mengibati penyakitnya, tapi dia tetap muntah-muntah..akhirnya kita semua memutuskan untuk membawanya ke klinik (Kimia farma disekitar BIP) yang buka 24 jam.

Sialnya, malam itu sudah ga ada angkot yang lewat. Akhirnya kita memutuskan untuk menggendongnya ke klinik tersebut. dan sayalah yang menggendongnya, karena pada waktu itu badan saya dianggap paling besar dibandingkan dengan teman lainnya.
Dengan tergopoh-gopoh saya pun menggendongnya menyusuri jalan tamansari...hingga klinik KF 24 jam itu, yang kurang lebih jaraknya tak kurang dari 1 kilometer. Keringat dinginpun bercucuran, (semakin dingin diterpa hembusan angin malam) karena lumayan berat juga menggendong dan berjalan jauh di suasana jalan yang sepi dan dingin malam itu.

Singkat cerita, sampailah ke Klinik tersebut. Dan Alhamdulillah klinik itu dengan sigap mengobati temanku itu. Dan keesokan harinya sayapun menjalani test dengan lancar yang membawa saya ke kelulusan di Jurusan Peternakan Universitas Padjadjaran.

Kekuatan  Do'a
Bahagia sekali saat kutahu dari koran, bahwa saya menjadi salah satu orang yang lulus masuk UNPAD..yeee Alhamdulillah, Allahuakbar..yakin seyakin-yakinnya karenaNya lah saya bisa keterima di Unpad. Kebahagiaan yang sangat luar biasa saya rasakan waktu itu, keinginan untuk kuliah di Unpad pun kini sudah didepan mata.

Saya tidak merasa pintar, atau terkategori cerdas yang tanpa belajar di Bimbel bisa lulus dan keterima di PTN ini. saya hanya punya obsesi untuk bisa kuliah di PTN, namun tak punya modal untuk belajar bimbel atau  sejenisnya, dimana pada waktu itu rata-rata yang lulus PTN, sebelumnya pasti ikut bimbel. Saya hanya mengandalkan usaha semampu saya dengan belajar sendiri tanpa ada pembimbing sama sekali.

Sambil melayani pelanggan wartel, tak jarang saya buka-buka buku catatan semasa SMA dulu, dan berlatih soal-soal UMPTN tahun sebelumnya. saya tidak tahu sejauhmana pengaruh dari gaya belajar saya tersebut mampu membawaku ke kelulusan UMPTN. Dengan buku catatan yang seadanya, dan kemampuan otaku yang tidak secerdas einstein (ya iyaaalah..:), saya tak yakin jika itu menjadi fakttor penentunya.

Hal yang saya yakini adalah betul-betul faktor pertolongan Allah SWT.., dan do'a orang lain. memang, hampir setiap orang yang saya temui, baik itu pelanggan wartel, atau sekedar baru ketemu di angkot/bis, saya menceritakan tentang niatku untuk ikut UMPTN dan tak segan-segan memohon doa mereka. Hampir tiap orang baru yang kutemui, pasti kuminta do'anya. Rasa malu menjadi hilang begitu saja, ditutupin oleh keinginan yang semakin menggebu..saya tak pedulikan lagi apa anggapan orang kepada saya, saya hanya minta untuk didoakan saja, meskipun mereka tidak mengenal saya.

aaah..itulah kekuatan Doa


Kuliah formal di FAPET UNPAD, Nimba Ilmu kehidupan di Organisasi
Mulailah saya registrasi mengurus perkuliahan saya seorang diri di Fapet unpad. Dengan modal bekal uang dari ortu yang seadanya , berangkatlah saya ke Dipati Ukur, Bandung (waktu itu rektorat unpad di DU), untuk mengikuti berbagai proses dan tahapan penerimaan di Unpad. disaat yang sama saya bertemu dengan seorang kenalan yang katanya keterima juga di jurusan fapet unpad, alhamdulillah,,merasa punya teman senasib.
Tahun pertama saya jalani dengan asyik, menginjak tahun kedua, disaat mata kuliah sudah lebih menjurus ke Peternakan saya merasa tidak berada ditempat yang tepat. Saya kecewa, karena ternyata saya tidak mampu menyukai dunia peternakan. Tapi saya ga mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini, saya tak mungkin keluar dari fapet untuk mencoba kuliah lagi ditempat lain, meskipun banyak rekan-rekan saya yang melakukannya. Karena saya sadar, keadaanku dengan mereka sangat berbeda, saya kuliah ke fapet dengan susah payah. sementara bagi mereka mungkin mudah untuk dilakukan, karena memiliki sumber daya yang memadai, khususnya dari aspek ekonomi. Kalau saya keluar, belum tentu saya beruntung bisa kuliah lagi ditempat lain.

Saya pun merenung, dan saya bertekad untuk terus meneruskan kuliah hingga tuntas. Namun untuk mengimbanginya, sy harus berorganisasi agar setelah lulus saya memiliki kemampuan dan pengalaman yang memudahkan saya untuk bekerja nantinya. Alhasil saya menjalani kuliah difapet dan menimba ilmu di organisasi. Hikmahnya, dari Organisasi pula, selain pengalaman, saya mendapatkan banyak peluang untuk mendapatkan uang melalui proyek kecil-kecilan. Kehidupan kuliaah saya tetap jalani, saya tetap mengupayakan agar mampu menjawab soal-soal ujian. Saya pun selama kuliah tetap berhubungan baik dengan dosen-dosen, ketua jurusan, dekanat bahkan rektorat. Dari hubungan baik itulah, saya sangat terbantu untuk menyelesaikan kuliah bahkan tak jarang beban biaya kuliah pun, seperti untuk penelitian skripsi dibantu pembiayaannya oleh mereka. Mungkin merekalah sebagian orang yang sangat berjasa dalam hidup saya.
 
Kini saya sudah hampir 10 tahun lulus dari Unpad, bekerja di salah satu NGO sebagaimana kecenderungan minat saya, berpenghasilan cukup, memiliki 3 anak dan 1 istri yang luar biasa. Alhamdulillah..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. komentar, kritik, saran, atau apapun dipersilahkan..