Rabu, 16 Oktober 2013

Pelajaran dari seorang Sopir Taksi

Ini adalah tentang cerita pada tanggal 25 September yang telah lalu, rasanya sudah lama ingin menuliskannya, tapi baru sekarang sempat menuliskannya. Semoga ada makna bagi siapapun yang membacanya.

C*paganti adalah taxi yang kupilih untuk mengantarkanku ke bandara Husen kali ini untuk selanjutnya terbang ke Surabaya. Maklum, tugas kantor kadang menuntutku untuk mondar-mandir dari satu daerah ke daerah lainnya, dan kali ini tujuanku menuju Surabaya. Hmmm meskipun berangkat pagi dari rumah (dengan tujuan menghindari macet), tapi kemacetan Bandung ternyata sudah tak bisa lagi kuhindari. Mulai dari keluar jalan margahayu raya (metro) antrian kendaraan sudah bejubel dan seolah semua kendaraan parkir di tengah-tengah jalan..hiii bandung sudah sedemikian macetnya.

Demi mengisi kejenuhan, mulailah obrolan dengan sang sopir yang usianya tak jauh dari saya nampaknya. Mulai dari cerita tentang pekerjaannya sebagai supir sampai urusan keluarga.

Pada Awalnya ga ada yang luar biasa dari sopir ini, kecuali karena dia cerita bahwa saat ini dia sedang berusaha memperjuangkan nasib dia dan rekan2nya untuk mendapatkan asuransi kesehatan dari perusahaan tempatnya bekerja. Menurutnya jaminan asuransi sangat penting untuk memproteksi kesehatan dan jiwanya, krn pekerjaan ini mengandalkan tenaga dan tubuh yang sehat. Jika tak bekerja karena sakit, maka tidak ada pula pendapatan untuk kebutuhan sehari2, apalagi untuk biaya pengobatan atau rumah sakit. Termasuk juga jika kepala keluarga meninggal, tidak ada lagi pemasukan bagi keluarga yang ditinggalkan. Sepenuhnya saya setuju dengan cara pandangnya tentang hal itu, karena sopir taksi mendapatkan upahnya pada hari itu jika bekerja pada hari yang sama, otomatis jika sakit dan tidak mampu bekerja, maka tidak akan mendapatkan upah apapun dari perusahaannya. So, saya sangat mendukung upaya-upayanya tersebut.

Sopir ini (menurut saya) lumayan smart, visioner dan berpikiran terbuka. Dan masuklah ke topik lain, berbicara tentang keluarga.

Sang Sopir ini ternyata kelahiran kiara condong Bandung, namun seminggu sekali (katanya) pulang ke subang karena dia sudah menikah dengan seorang perempuan  asal subang dan memiliki 2 anak dari hasil pernikahannnya..ga ada yang luarbiasa pikirku, karena kenyataannya saya pun ketemu istri dan anak seminggu sekali juga.Memang tidak mudah menjalani hidup jauh dari anak istri, tapi sejauh ini saya juga mampu melakukannya kok.

Namun ketika kutanya tentang usia anak pertamanya, barulah babak cerita ini dimulai. Dia menjawab "kalau masih ada, usianya sekarang 5 tahun", katanya. Ooh langsung saya faham bahwa anaknya sudah meninggal, Innalillahi wainnailaihi rojiuun. Katanya meninggal 1 tahun yang lalu karena sakit pendarahan di otak. saya agak sedih dan merasakan kesedihannya yang nampak dari matanya yang kulihat dari cermin yang sedikit berkaca-kaca. kala itu saya inget anak saya yang saat ini berumur 5 tahun juga,,saya ga sanggup membayangkannya lagi.

Kualihkan pembicaraan, dengan bertanya tentang istrinya. Tak kusangka dan betapa kagetnya saya, karena dia menjawab bahwa istrinya pun sudah meninggal tepat satu bulan setelah anak pertamanya meninggal. Istrinya sakit-sakitan semenjak anak pertamanya meninggal. Jantungku semakin berdebar ga karuan..ada rasa kasihan, iba sekaligus ga mampu membayangkan jika itu terjadi pada saya..

saya gak mampu membayangkan, dan ga bisa dibayangkan bagaimana beban hidupnya. dua orang yang sangat dicintainya meninggal pada saat yang nyaris bersamaan. tak juga mampu kubayangkan bagaimana dia bisa menjelaskan kepada anak bungsunnya  yang usianya sekitar 2 tahun itu tentang ketiadaan ibu dan kakaknya yang sudah meninggal. Disaat usia anak bungsunya itu sedang butuh bermanja-manja dengan ibu dan bercengkrama dengan kakaknya, kini yang ada hanya ada bapaknya.

"Belum ada rencana ingin menikah lagi?" tanyaku. "kepingin sih ada, tapi saya ingin fokus membesarkan anakku dulu yang sekarang tinggal di subang bersama neneknya" jawabnya singkat dan dengan nada pilu.

Saya pun termenung tak bisa lagi melanjutkan pembicaraan. Saya langsung ingat kepada istri dan anak-anaku..betapa berharganya mereka, melebihi apapun yang kumiliki saat ini..

Jumat, 11 Oktober 2013

Dzalim



Setiap orang pada hakikatnya selalu ingin diperlakukan adil dan jauh dari perlakuan dzalim pihak lainnya. Namun memang dunia ini sangat keras, yang lemah ditindas oleh yang kuat bukan hal yang aneh lagi. Si Lemah terkadang hanya bisa pasrah karena tak mampu lagi melawan bahkan untuk sekedar membela diri.

Sebagai manusia, saya terkadang gerah melihat situasi seperti itu. Saya selalu saja merasa tidak rela jika ada orang yang terdzolimi oleh pihak yang merasa jumawa dengan berbagai kekuasaan dan kekuatannya. Bukankah kekuatan seharusnya digunakan untuk melindungi dan memberdayakan yang lemah??

Semoga saya selalu diberi kekuatan yang lebih besar oleh Allah untuk membela dan berdiri dibarisan depan untuk membela kaum lemah, dan dijauhkan dari sifat dzalim. Amiin