Kamis, 05 Mei 2011

Tentang Budaya malu..

Bangsa ini telah dihinggapi penyakit yang sedemikian kritis, penyakit ini yang saya yakini menyebabkan krisis multidimensi. Semakin hari-semakin parah, upaya reformasi yang digulirkan oleh sekelompok masyaratkat -yang menamakan dirinya reformis- pada tahun 1998 tak mampu menjadi obat yang mujarab terhadap penyakit ini. Penyakit yang ingin saya tulis dalam hal ini adalah "malu".

Korupsi yang terjadi diberbagai sektor, akibat koruptor tersebut tak punya malu. Baik korupsi dikalangan birokrasi maupun di kalangan private sector, pada dasarnya sama saja, akibat dari tak punya rasa malu.

Bagi korupsi di birokrasi, sudah dipastikan koruptor tak lagi merasa "uang"itu bukan haknya, bahkan diapun tak pernah meragukan bahwa dia dibayar untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini, dia dibayar oleh masyarakat melalui pajak dan retribusi. Disisilain, anggaran yang dikelola pemerintahpun pada prinsipnya adalah hasil "patungan" rakyat yang menyisihkan dari keringat-keringat yang dikumpulkan untuk membayar pajak dan retribusi. Tujuan anggaran yang dikelola itu- dalam konteks pelayanan publik- adalah mensejahterakan rakyat.

Dasar koruptor tak mersa malu ketika "mencuri" uang yang dikumpulkan rakyat. Uang yang harusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dicuri begitu saja untuk kepentingan perut mereka. Padahal untuk pelayanan tersebut, mereka telah dibayar oleh rakyat. Masih saja uang itu dicuri..dasar tak punya malu...iiihh jijik.

saya tak pernah percaya bila ada yang bilang bahwa korupsi birokrasi akibat dari tingkat kesejahteraan yang rendah (gaji yang kecil). sesungguhnya tidak ada hubungan langsung antara korupsi birokrasi dengan minimnya kesejahteraan. (lagi-lagi kesejahteraan harus direpresentasikan oleh penerimaan gaji..tapi tak mengapalah..)

Saya berani menjelaskan beberapa hal dengan pertanyaan : apakah kelakuan gayus, sebagai makelar kasus bahkan menilep pajak akibat dari gaji yang dia terima sangat kecil??. Dia Golongan III a, menerima gaji sekitar 11 juta..masih kecil??
apakah beberapa oknum anggota DPR yang korupsi cek pelawat saat pemilihan gubernur senoir BI, karena gaji mereka kecil??pendapatan mereka lebih dari 30 juta perbulannya..
apakah korupsi dibidang pengadaan yang menyebabkan kebocoran anggaran sebesar 40-50 % APBN akibat dari gaji yang kecil?? jelas-jelas karena rakus dan ga punya malu..

Budaya tak punya malu pun kini tak hanya hinggap dilingkungan birokrasi, di kalangan private sector pun begitu. sungguh tak ada pembenaran dari syari'at atau hukum positif negara ini yang membolehkan mencuri, sekecil apapun loh..!. mencuri tetap mencuri, korupsi tetap mencuri..

"Dosa" memang urusan yang bersangkutan dengan Tuhannya, tapi dari sisi sebab akibat, korupsi menyebabkan kerugian pihak lain. korupsi adalah pemindahan hak secara paksa yang asalnya hak orang menjadi milik koruptor.
korupsi adalah perampokan...

Insyaflah wahai para koruptor...hak orang lain telah kau renggut dengan kelicikanmu..malu lah..!

Maling seringkali teriak maling..ini modus yang sudah lumrah yang dilakukan maling..tujuannya satu, untuk mengesankan bahwa dirinya adalah orang bersih dan bebas dari dosa terlaknat tersebut..

Selasa, 03 Mei 2011

PPTSP dan kapitalisme

Cerita awal

Telah banyak penelitiaan yang menunjukan bahwa masalah utama perizinan yang dihadapi di daerah adalah terlalu banyak izin, terlalu lama, berbelit-belit, dan terlalu mahal. Masyarakat dan kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan oleh pemerintah yang tidak memiliki kejelasan prosedur, tidak transparan, waktu pemrosesan izin yang tidak pasti, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan terutama terkait dengan dengan biaya-biaya yang tidak resmi. Hal ini menimbulkan image buruk terhadap kinerja pemerintahan dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Sebagai upaya untuk mempercepat proses pemulihan iklim investasi ke arah yang lebih kondusif, sejak tahun 1997 pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik. Di antaranya dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 503/125/PUOD tanggal 16 januari 1997 tentang pembentukan Pelayanan Terpadu satu Atap dan Instruksi Menteri Dalam negeri No. 25 tahun 1998 tenteng Pelayanan Terpadu Satu Atap. Terakhir, pemerintah berupaya untuk mewujudkan pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau dengan menerbitkan Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu sebagai bentuk implementasi dari Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket kebijakan investasi. Ide dasar dari kebijakan ini adalah mengintegrasikan seluruh proses perizinan ke dalam suatu sistem pelayanan perizinan terpadu satu pintu.

Reformasi dan "pesanan"

Gelombang reformasi birokrasi dibidang pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, semakin hari semakin besar. Selain dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan, reformasi ini pun berjalan akibat kontribusi yang sangat besar dari berbagai lembaga donor. Dampaknya, hampir semua daerah berlomba dalam membentuk PPTSP, seolah-olah permendagri 24/2006, sudah menjadi kitab suci yang wajib untuk ditaati dan "dosa'' bagi siapapun yang mengabaikannya.

Salah satu contohnya adalah The Asia Foundation (TAF). Lembaga yang sering dianggap bekerja untuk kepentingan Amerika ini, telah banyak memberikan kontribusinya dalam reformasi perizinan. Tak sedikit pihak yang mencibir, jika ada yang bilang bahwa TAF dianggap tidak punya kepentingan. Seolah-olah apapun yang dilakukan Amerika, tak akan pernah lepas dari kepentingan Negara tersebut terhadap Indonesia, termasuk dalam reformasi ini pun. Apalagi Amerika sangat lekat dengan ideologi kapitalisme, yang juga kalo dihubung-hubungkan, ternyata memiliki hubungan erat dengan perizinan.

Reformasi pelayanan perizinan melalui pembentukan PPTSP pada prinsipnya adalah mempermudah dunia usaha untuk melakukan formalisasi usahanya. Dalam konteks inilah, TAF dianggap sebagai kepanjangan tangan dari investor Amerika yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber daya yang dimiliki negara ini. Dengan kemudahan yang diberikan PPTSP, diharapkan dapat memuluskan niat mereka untuk berinvestasi di negeri ini. Kepentingan dalam hal ini sangat jelas, yaitu ekonomi. kira-kira itulah analisis sebagian pihak yang mencibir tersebut.

Prinsip Pengendalian

Terlepas dari anggapan tersebut benar atau salah, penulis ingin menyampaikan beberapa hal, sebagai berikut :

a. "Izin" bukan hanya untuk aktifitas Usaha.

Jika Amerika ingin berinvestasi di Indonesia, maka harus memiliki izin. Dinegara manapun, perizinan selalu diterapkan bagi siapapun yang akan melakukan aktifitas usaha. Namun perlu disadari bahwa perizinan tidak hanya terkait dengan usaha. perizinan pun sangat terkait dengan hajat hidup sehari-hari masyarakat. misalnya IMB rumah, merupakan salah satu izin yang sangat erat dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu penyederhanaan izin, khususnya IMB sangat bermanfaat bagi masyarakat

b. "Izin" adalah alat kendali pemerintah.

seiring dengan berjalannya Otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan daerahnya kedepan. Dalam titik ini, berarti pemerintah daerah dapat mengendalikan daerahnya melalui perizinan. Hal ini karena perizinan merupakan salah satu alat pengendalian kebijakan. persyaratan teknis memang diperlakukan sama bagi semua pemohon, tetapi kepentingan "daerah" dapat menjadi prasyarat bagi pemenuhan syarat-syarat teknis tersebut.

sebagai contoh: Kabupaten Purwakarta memiliki kebijakan melindungi perekonomian usaha rakyat melalui pembatasan pendirian minimarket (sebut saja : Alfa****) di kecamatan-kecamatan tertentu. kebijakan ini diberlakukan karena keberadaan alfa*** dianggap dapat mematikan usaha rakyat, misalnya pasar-pasar tradisional, warung-warung skala rumah tangga yang akhirnya bangkrut akibat dari keberadaan minimarket tersebut. pada prinsipnya pengambil kebijakan sadar betul bahwa rakyatnya belum bisa bersaing dengan pemilik modal besar. oleh karena itu keluarlah kebijakan tersebut.

Praktek yang dilakukan sebagai pengendalian terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut, Pemkab melaksanakannya melalui perizinan. Setiap permohonan perizinan pendirian alfa*** di daerah tertentu sudah bisa dipastikan di tolak oleh BPMP2T. dengan jalan demikian, minimarket dipurwakarta berhasil dibatasi. ini namanya kebijakan yang efektif dalam tataran rumusan kebijakan maupun implementasinya.

nah, terkait dengan isu kapitalisasi perizinan, investor yang masuk ke daerah tertentu pun pada prinsipnya bisa dibatasi melalui perizinan. Ingat, permohonan perizinan harus memenuhi kriteria pra persyaratan, persyaratan administrasi dan juga teknis. pra-persyaratan dan persyaratan teknis bisa dikendalikan untuk kepentingan daerah.

c. manfaat PPTSP untuk semua

seperti yang dikemukakan sebelumnya, terlepas dari donor punya agenda penting ekonomi dibalik PPTSP atau tidak, yang pasti reformasi birokrasi dibidang perizinan ini menguntungkan bagi semua pihak. bagi masyarakat umum, memberikan kemudahan dalam memproses izin, baik izin usaha-maupun izin lainnya; Bagi pemerintah, mempermudah koordinasi diantara pemangku kepentingan dalam rangka mengendalikan kebijakan daerah, serta mengikis korupsi atau pungli yang sangat erat kaitannya dengan pelayanan perizinan; dan bagi pelaku usaha, mendapatkan kemudahan jika seluruh prasyarat dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat dapat dipenuhi.

Intinya, terlepas dari agenda apapun yang dimiliki oleh donor2 tersebut, selama dapat seiring dengan manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat, maka manfaatkan saja. Apalagi dalam konteks perizinan, tidak ada pesan-pesan khusus yang mengancam kedaulatan negara dan rakyat ini kok.


Dasar Anak Kampung!

Dasar anak kampung! mungkin itulah pernyataan orang lain ketika mengetahui keinginan, dan harapanku, yang secara pikir seolah-olah ingin membalikan dunia, setidaknya Indonesia.

yuppss aku adalah anak kampung, memang sekampung-kampungnya orang kampung, terlahir di kampung, besar di kampung, kecuali sempat mengenyam pendidikan (PT) agak sedikit kota. "kampung" selalu identik dengan keterbelakangan, dan kemiskinan. Dua kondisi itu bak sahabat sejati yang selalu beriringan. kalo ada keterbelakangan, pasti ada kemiskinan, begitupun sebaliknya.

jika ada yang mengatakan aku orang kampung, seharusnya tak tersinggung. karena begitulah adanya. tapi aku ingin membuktikan bahwa "kekampungan-ku" tak identik dengan stigma kemiskinan dan keterbelakangan.

terlahir sebagai anak dari seorang ayah (asli dari kampung) dan ibu (agak kampung). masa-masa kecil keseharianku dihabiskan dengan main layang-layang, kelereng, gatrik dengan teman-teman sekampungku yang khas dengan "budug" yang ditandai dengan nanah dimana-mana, termasuk di kepala. ya, kami semua begitu (termasuk akupun pernah begitu), tapi akupun tak tahu mengapa pada saat itu hampir semua dari kami, mengalami hal itu. entahlah apakah kekurangan gizi akibat kemiskinan, atau pola sanitasi yang tidak baik. hihihihi...dasar anak kampung, aku pun merasa apa yang terjadi pada masa itu seolah biasa-biasa saja. gak aneh sama sekali.

Aku masih jauh beruntung dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Meskipun hidup di kampung dengan berbagai keterbatasan finansial, yang juga membatasiku dalam mengakses kehidupan yang lebih baik, Aku memiliki ayah yang -menurutku- visioner (ceileeee...prikitiw..). Memiliki pandangan jauh kedepan. Keterbatasan ekonomi kami, justru malah membuat ayahku sering berpesan untuk menggapai pendidikan setinggi langit (ketinggian ga ya..?), seraya mengutip hadis2 Rasulullah biasanya. "jangan malu karena miskin dan kampung, percaya dirilah karena kamu berilmu" itulah kira2 pesan yang saya ingat dari ayah saya pada masa-masa itu. "ulah dusun, kudu wanter!" , artinya " jangan merasa rendah diri, harus percaya diri!". duh pesan itu...(mengenang). "moal ngawarisan harta, da teu boga!", artinya bahwa beliau ga akan mewarisi ku dengan harta, karena ga punya!.

Pandangan tentang itu semakin terbukti, ketika orangtuaku bersusah payah menyekolahkan ku dan Teteh-ku, padahal kondisi ekonomi keluarga kami (pada waktu itu) luarbiasa sangat tak menentu. Disisi lain, tak ada satupun anak dari kampungku yang berpendidikan SMA, hanya aku dan tetehku yang mengalami itu. Apalagi ketika kami masuk perguruan tinggi. waduuuuh ga ada sama sekali. (jadi inget,,,ortuku melakukan segala cara, jual ini-jual itu, bekerja segala macam, semata-mata untuk menyekolahkan kami..semoga Allah memuliakannya di dunia dan akhirat. Amiin)

Ayahku, katanya lulusan SD (pada waktu itu) lalu sempat ke pesantren (sebentar). Tapi beliau yang pertama kali memperkenalkanku ke wilayah sosial dan politik. Dalam konteks itu aku menganggap ayahku sangat berwawasan luas, karena begitu rajin mengikuti perkembangan sosial dan politik, baik di tingkat nasional, bahkan internasional. Mungkin terpengaruh oleh itu pulalah, sehingga aku di beri nama "iqbal", mungkin karena terkagum-kagum sama seorang tokoh internasional yang terkenal luar biasa.

Ayahku tak pernah mau diganggu kalau sedang menyimak berita tentang politik. Dengan bahasa-bahasa populer yang sering diistilahkannya, (biasanya selalu ada akhiran "isme", "si", log de el el), membuatku sering mengaguminya (meskipun aku ga ngerti maksudnya), pada masa itu. Meskipun begitu, bagi sebagian orang "kota" ,menganggap ayahku "legeg"( loba gaya). bahkan ada satu statemen dari salah satu orang saudaraku (orang kota yang menganggap dirinya lebih hebat dan pintar) dengan sinis berkata" halah pira lulusan SD, loba gaya, sok!" dan parahnya itu terdengar oleh ku, sebagai anak dari orang yang dihina olehnya..arghhhhhh..ingin ku ludahi aja tu orang..(aku benci sekali sama orang itu, sampe sekarang!)

kehidupan keluargaku, nila-nilai yang ditanamkan ortu-ku, serta hinaan-hinaan yang diterima, mungkin yang telah membentuk ku seperti saat ini. aku lebih cenderung tertarik dengan permasalahan sosial/politik, dibandingkan dengan permasalahan teknologi dan ilmu alam.

kecenderungan itu kian tinggi, karena saat ini aku bergabung di salah satu LSM di Bandung. sudah hampir 5 tahun lebih saya di LSM tersebut.

Sebagai anak kampung, aku bercita-cita kembali ke kampungku suatu saat nanti. Bukan sebagai anak kampung yang "budug" , bodoh, terbelakang dan kampungan. Bukan pula sebagai anak kampung yang hanya memikirkan "hidup"nya hari ini. Tetapi anak kampung yang siap, merubah stigma itu semua. Anak kampung yang siap melakukan perubahan. Anak kampung yang bercita-cita memajukan kehidupan sosial. Anak kampung kampung yang ingin menyiapkan langkah-langkah untuk jutaan tahun kedepan, untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan.

huuuuh dasar anak kampung!!