Senin, 15 April 2013

Problematika Pembentukan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah



Polemik tentang problem pengadaan barang/jasa telah berlangsung sejak lama, peraturan yang mendasarinya pun dari tahun ke tahun senantiasa bergantian. Namun apakah problem pengadaan kemudian menjadi selesai karenanya? Tentunya perlu analisis lebih lanjut. Namun secara umum peraturan presiden no 45 /2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menggantikan Kepress 80/2003 memang menyiratkan beberapa perbaikan, salah satunya klausul tentang pembentukan ULP meskipun masih juga menyediakan banyak klausul yang menjadi “celah” bagi proses pengadaan yang tidak sehat. Oleh karena itu, tulisan kali  ini hanya akan membahas lebih lanjut tentang isu ULP yang menurut perpres 54/2010 akan diwajibkan pada tahun 2014.
Isu unit layanan pengadaan barang/jasa (ULP) merupakan isu yang sudah lama bergulir, jauh sebelum lahirnya perpres 54 ini. Tepatnya istilah ULP mulai dikenal sejak Kepres 80/2003, namun bentuk dan kejelasan tentang ULP belum secara tegas diatur didalam kepres 80/2003 tersebut. Namun demikian, sejak saat itu sudah mulai bermunculan ULP-ULP diberbagai daerah dengan bentuk dan tugas yang bermacam-macam, disesuaikan dengan “ijtihad”masing-masing disesuaikan dengan tafsir mereka terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait.
Selain berdasarkan Kepres 80/2003, Dorongan pembentukan ULP ini juga didasari oleh terjadinya masalah-masalah disektor pengadaan barang/jasa. salah satunya adalah adanya kewajiban pemilihan pengadaan barang/jasa yang harus dilakukan oleh personal yang bersertifikat, sementara jumlah pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa di daerah tersebut sangat sedikit. Nah, untuk mengatasi permasalahan tersebut, pembentukan ULP dianggap merupakan salah satu solusi, sehingga dengan memusatkan seluruh proses pemilihan penyedia barang/jasa di ULP, maka kebutuhan jumlah pegawai yang akan menangani itu akan lebih lebih efisien dibandingkan dengan total kebutuhan pegawai  jika pengadaan dilakukan di masing-masing OPD.
ULP menurut Kepres 80/2003 dan Permasalahannya
Seperti yang diulas sebelumnya, ULP merupakan salah satu solusi dalam mengatasi keterbatasan pegawai bersertifikat, namun disisi lain menimbulkan masalah baru. ULP yang dibentuk berdasarkan kepress tersebut masih bersifat lembaga non struktural, artinya bukan lembaga yang terkategori sebagai Organisasi Perangkat Daerah, sehingga personilnya pun secara strukural  masih merupakan bagian dari personil OPD asalnya. Dengan kata lain, personel tersebut memiliki fungsi, tugas, tanggung jawab yang rangkap yaitu sebagai “orang” OPD dan sebagai “orang” ULP. Dengan kata lain penugasan seorang pegawai di ULP tidak lantas menghilangkan tanggungjawabnya sebagai pegawai OPD. Bahkan dari perspektif administrasi, siapapun yang bertugas di ULP akan mengedepankan tugasnya sebagai pegawai OPD dibandingkan tugas di ULP sendiri, karena OPD menjanjikan jenjang “karir” yang lebih jelas dibandingkan dengan ULP.  Sementara itu ULP sendiri tidak memiliki jenjang karing yang tegas, karena sifatnya sebagai lembaga “pelengkap”.
Dampak lain dari lembaga ULP yang bersifat non struktural adalah “rawan intervensi” dari OPD. Secara sederhana digambarkan, permasalahan intervensi ini muncul karena pegawai ULP memiliki atasan srukturalnya, sehingga dengan demikian kepentingan OPD sangat mudah masuk kedalam ULP melalui pegawai-pegawai yang notabene merupakan pegawai OPD tersebut. Tentunya masih banyak masalah lain yang tidak akan dibahas lebih lanjut di tulisan ini.
Mewujudkan ULP versi Perpres 54/2010 dan hambatannya
Masalah-masalah yang muncul akibat status ULP yang bersifat non strukural diatas, selanjutnya menjadi dasar lahirnya cita-cita untuk mewujudkan ULP yang bersifat struktural.  Lebih tepatnya, saat ini ide itu telah diakomodir dalam pasal 1 Perpres 54/2010 yang mendefinisikan sebagai berikut: “Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada”.

Definisi tersebut memberi gambaran tentang status ULP yang dimaksud menurut perpres ini yaitu bersifat permanen. Permanen disini diartikan bahwa ULP tidak lagi bersifat kepanitiaan atau ad-hoc, melainkan bersifat tetap dapat berdiri sendiri seperti halnya OPD lain ataupun menjadi bagian dari OPD yang sudah ada, misalnya dalam hal ini UPTD,bidang, sub bidang, atau struktur lain yang menjadi bagian dari OPD.

Tampaknya definisi ULP yang tercantum dalam Perpres 54 tersebut membuat status ULP menjadi terang benderang. Namun apakah Perpress ini bisa serta-merta dijadikan rujukan dalam membentuk ULP struktural tadi? Mari kita lanjutkan pembahasannya..

OPD merupakan perangkat yang dimiliki oleh daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik. Secara aturan, Pembentukan OPD didasari oleh Peraturan Pemerintah no 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Isi dari PP ini (kurang lebih) menjelaskan beberapa point penting, misalnya syarat pembentukan OPD, syarat OPD, struktur dasar OPD,  kuota OPD yang diperbolehkan dibentuk berdasarkan kriteria daerah ,  dan lain sebagainya. Yang lebih penting dari ini adalah bahwa OPD dibentuk harus berdasarkan “urusan” yang menjadi kewenangan daerah.

Nah, urusan yang menjadi kewenangan daerah telah dijelaskan dalam PP38/2007 tentang urusan yang lahir sebelum PP41 tadi.  PP ini memberikan ketentuan tentang urusan-urusan apa saja yang menjadi kewenangan daerah, namun secara umum terbagi menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Secara sederhana, urusan wajib adalah urusan yang wajib dikelola /dilayani/diurusi pemerintah daerah. Sebaliknya urusan pilihan adalah urusan yang bisa dijadikan pilihan oleh pemda untuk mengelola/melayani suatu urusan. Urusan pilihan ini prinsipnya boleh dipilih oleh daerah disesuaikan dengan potensi dan kondisi daerahnya masing-masing, tentunya sepanjang masih memenuhi “kuota” yang ditetapkan oleh PP 41 tadi diatas.

Berkaitan dengan ULP tadi, perspektif PP38 tidak memasukan urusan pengadaan barang/jasa baik sebagai urusan pilihan maupun urusan wajib. Dengan kata lain pengadaan barang/jasa hanya dikategorikan sebagai penunjang terlaksananya urusan. Lebih jelas lagi di PP 41 sebagai kelanjutan dari PP38, sama sekali tidak memasukan tentang pembentukan ULP.

Kesimpulannya, disatu sisi Perpres 54/2010 mengisyaratkan pembentukan ULP struktural baik sebagai OPD sendiri maupun bagian dari OPD, tetapi disisi lain PP 38 dan PP 41 tidak mengakomodir terbentuknya ULP sebagai OPD. Nah ketidaknyambungan ini yang seringkali membingungkan bagi daerah-daerah yang berkeinginan membentuk ULP sesuai dengan perpres.

(sekedar)Tawaran Solusi
Pemerintah sebagai “bidan” yang melahirkan semua peraturan yang “tidak nyambung” tadi, harus segera mencari terobosan. Harus diingat, kewajiban pembentukan ULP akan diberlakukan pada tahun 2014, artinya hanya tinggal (kurang dari) 1 tahun lagi dari sekarang. Sementara peraturan-peraturan baik PP 41 maupun 38 belum ada tanda-tanda akan direvisi.

LKPP sebagai lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa yang bertanggungjawab melahirkan Perpres 54 juga tidak harus berdiam diri. Kebingungan pemerintah daerah harus segera direspon, karena daerah sangat menggantungkan kepada “fatwa” pemerintah pusat. Karena jelas, menurut UU 10/2004 kedudukan Perpres lebih rendah dibandingkan dengan PP, sehingga tidak mungkin bagi daerah mendahulukan Perpres dan mengabaikan PP yang secara hirarki menurut UU tersebut lebih tinggi.

Oleh karena itu, Depdagri dan LKPP harus duduk bersama mencari solusi dari masalah ini. Ingat, pembentukan OPD di daerah memerlukan waktu yang tidak sebentar, setidaknya menghabiskan satu tahun anggaran karena akan melibatkan DPRD dalam pembahasannya. Pemerintah pusat dalam hal ini depdagri dan LKPP harus memberikan waktu yang cukup agar kewajiban membentuk LPSE pada 2014 dapat dipenuhi oleh semua daerah.

Dengan asumsi tersebut, maka setidaknya pada akhir tahun ini (2012) harus sudah ada kepastian yang jelas, misalnya dengan merevisi PP38 dan 41 sehingga LKPP segera bisa mengeluarkan peraturan Kepala LKPP tentang pedoman pembentukan ULP sebagai derivat dari perpress tersebut. Jika hal ini bisa dipenuhi, diharapkan pada awal tahun 2013 Pemerintah daerah bisa segera melakukan revisi Perda tentang OPD yang salah satunya memasukan point tentang pembentukan ULP. Dengan demikian pada tahun 2014, harapanya kewajiban membentuk ULP dapat dipenuhi oleh daerah.

Namun perlu juga dicatat juga bagi daerah, Pembentukan ULP tersebut seyogyanya bukan hanya berdasarkan pemenuhan terhadap kewajiban yang diatur didalam perpres, lebih penting lagi adalah harus didasari oleh spirit dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Amiin.