Polemik tentang problem pengadaan
barang/jasa telah berlangsung sejak lama, peraturan yang mendasarinya pun dari
tahun ke tahun senantiasa bergantian. Namun apakah problem pengadaan kemudian
menjadi selesai karenanya? Tentunya perlu analisis lebih lanjut. Namun secara
umum peraturan presiden no 45 /2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang menggantikan Kepress 80/2003 memang menyiratkan beberapa
perbaikan, salah satunya klausul tentang pembentukan ULP meskipun masih juga
menyediakan banyak klausul yang menjadi “celah” bagi proses pengadaan yang
tidak sehat. Oleh karena itu, tulisan kali
ini hanya akan membahas lebih lanjut tentang isu ULP yang menurut
perpres 54/2010 akan diwajibkan pada tahun 2014.
Isu unit layanan pengadaan
barang/jasa (ULP) merupakan isu yang sudah lama bergulir, jauh sebelum lahirnya
perpres 54 ini. Tepatnya istilah ULP mulai dikenal sejak Kepres 80/2003, namun
bentuk dan kejelasan tentang ULP belum secara tegas diatur didalam kepres
80/2003 tersebut. Namun demikian, sejak saat itu sudah mulai bermunculan
ULP-ULP diberbagai daerah dengan bentuk dan tugas yang bermacam-macam,
disesuaikan dengan “ijtihad”masing-masing disesuaikan dengan tafsir mereka terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Selain berdasarkan Kepres
80/2003, Dorongan pembentukan ULP ini juga didasari oleh terjadinya masalah-masalah
disektor pengadaan barang/jasa. salah satunya adalah adanya kewajiban pemilihan
pengadaan barang/jasa yang harus dilakukan oleh personal yang bersertifikat,
sementara jumlah pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa di
daerah tersebut sangat sedikit. Nah, untuk mengatasi permasalahan tersebut,
pembentukan ULP dianggap merupakan salah satu solusi, sehingga dengan
memusatkan seluruh proses pemilihan penyedia barang/jasa di ULP, maka kebutuhan
jumlah pegawai yang akan menangani itu akan lebih lebih efisien dibandingkan
dengan total kebutuhan pegawai jika
pengadaan dilakukan di masing-masing OPD.
ULP menurut Kepres 80/2003 dan Permasalahannya
Seperti yang diulas sebelumnya, ULP
merupakan salah satu solusi dalam mengatasi keterbatasan pegawai bersertifikat,
namun disisi lain menimbulkan masalah baru. ULP yang dibentuk berdasarkan
kepress tersebut masih bersifat lembaga non struktural, artinya bukan lembaga
yang terkategori sebagai Organisasi Perangkat Daerah, sehingga personilnya pun
secara strukural masih merupakan bagian
dari personil OPD asalnya. Dengan kata lain, personel tersebut memiliki fungsi,
tugas, tanggung jawab yang rangkap yaitu sebagai “orang” OPD dan sebagai
“orang” ULP. Dengan kata lain penugasan seorang pegawai di ULP tidak lantas
menghilangkan tanggungjawabnya sebagai pegawai OPD. Bahkan dari perspektif
administrasi, siapapun yang bertugas di ULP akan mengedepankan tugasnya sebagai
pegawai OPD dibandingkan tugas di ULP sendiri, karena OPD menjanjikan jenjang
“karir” yang lebih jelas dibandingkan dengan ULP. Sementara itu ULP sendiri tidak memiliki
jenjang karing yang tegas, karena sifatnya sebagai lembaga “pelengkap”.
Dampak lain dari lembaga ULP yang
bersifat non struktural adalah “rawan intervensi” dari OPD. Secara sederhana
digambarkan, permasalahan intervensi ini muncul karena pegawai ULP memiliki
atasan srukturalnya, sehingga dengan demikian kepentingan OPD sangat mudah
masuk kedalam ULP melalui pegawai-pegawai yang notabene merupakan pegawai OPD
tersebut. Tentunya masih banyak masalah lain yang tidak akan dibahas lebih lanjut
di tulisan ini.
Mewujudkan ULP versi Perpres 54/2010 dan hambatannya
Masalah-masalah
yang muncul akibat status ULP yang bersifat non strukural diatas, selanjutnya
menjadi dasar lahirnya cita-cita untuk mewujudkan ULP yang bersifat
struktural. Lebih tepatnya, saat ini ide
itu telah diakomodir dalam pasal 1 Perpres 54/2010 yang mendefinisikan sebagai
berikut: “Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit
organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di
K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit
yang sudah ada”.
Definisi
tersebut memberi gambaran tentang status ULP yang dimaksud menurut perpres ini
yaitu bersifat permanen. Permanen disini diartikan bahwa ULP tidak lagi
bersifat kepanitiaan atau ad-hoc,
melainkan bersifat tetap dapat berdiri sendiri seperti halnya OPD lain ataupun
menjadi bagian dari OPD yang sudah ada, misalnya dalam hal ini UPTD,bidang, sub
bidang, atau struktur lain yang menjadi bagian dari OPD.
Tampaknya
definisi ULP yang tercantum dalam Perpres 54 tersebut membuat status ULP
menjadi terang benderang. Namun apakah Perpress ini bisa serta-merta dijadikan
rujukan dalam membentuk ULP struktural tadi? Mari kita lanjutkan
pembahasannya..
OPD
merupakan perangkat yang dimiliki oleh daerah dalam rangka memberikan pelayanan
publik. Secara aturan, Pembentukan OPD didasari oleh Peraturan Pemerintah no 41
tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Isi dari PP ini (kurang lebih)
menjelaskan beberapa point penting, misalnya syarat pembentukan OPD, syarat
OPD, struktur dasar OPD, kuota OPD yang
diperbolehkan dibentuk berdasarkan kriteria daerah , dan lain sebagainya. Yang lebih penting dari
ini adalah bahwa OPD dibentuk harus berdasarkan “urusan” yang menjadi
kewenangan daerah.
Nah,
urusan yang menjadi kewenangan daerah telah dijelaskan dalam PP38/2007 tentang
urusan yang lahir sebelum PP41 tadi. PP
ini memberikan ketentuan tentang urusan-urusan apa saja yang menjadi kewenangan
daerah, namun secara umum terbagi menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan
urusan pilihan. Secara sederhana, urusan wajib adalah urusan yang wajib
dikelola /dilayani/diurusi pemerintah daerah. Sebaliknya urusan pilihan adalah
urusan yang bisa dijadikan pilihan oleh pemda untuk mengelola/melayani suatu
urusan. Urusan pilihan ini prinsipnya boleh dipilih oleh daerah disesuaikan
dengan potensi dan kondisi daerahnya masing-masing, tentunya sepanjang masih
memenuhi “kuota” yang ditetapkan oleh PP 41 tadi diatas.
Berkaitan
dengan ULP tadi, perspektif PP38 tidak memasukan urusan pengadaan barang/jasa baik
sebagai urusan pilihan maupun urusan wajib. Dengan kata lain pengadaan
barang/jasa hanya dikategorikan sebagai penunjang terlaksananya urusan. Lebih
jelas lagi di PP 41 sebagai kelanjutan dari PP38, sama sekali tidak memasukan
tentang pembentukan ULP.
Kesimpulannya,
disatu sisi Perpres 54/2010 mengisyaratkan pembentukan ULP struktural baik
sebagai OPD sendiri maupun bagian dari OPD, tetapi disisi lain PP 38 dan PP 41
tidak mengakomodir terbentuknya ULP sebagai OPD. Nah ketidaknyambungan ini yang
seringkali membingungkan bagi daerah-daerah yang berkeinginan membentuk ULP
sesuai dengan perpres.
(sekedar)Tawaran Solusi
Pemerintah
sebagai “bidan” yang melahirkan semua peraturan yang “tidak nyambung” tadi,
harus segera mencari terobosan. Harus diingat, kewajiban pembentukan ULP akan
diberlakukan pada tahun 2014, artinya hanya tinggal (kurang dari) 1 tahun lagi
dari sekarang. Sementara peraturan-peraturan baik PP 41 maupun 38 belum ada
tanda-tanda akan direvisi.
LKPP
sebagai lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa yang bertanggungjawab
melahirkan Perpres 54 juga tidak harus berdiam diri. Kebingungan pemerintah
daerah harus segera direspon, karena daerah sangat menggantungkan kepada
“fatwa” pemerintah pusat. Karena jelas, menurut UU 10/2004 kedudukan Perpres
lebih rendah dibandingkan dengan PP, sehingga tidak mungkin bagi daerah mendahulukan
Perpres dan mengabaikan PP yang secara hirarki menurut UU tersebut lebih
tinggi.
Oleh
karena itu, Depdagri dan LKPP harus duduk bersama mencari solusi dari masalah
ini. Ingat, pembentukan OPD di daerah memerlukan waktu yang tidak sebentar,
setidaknya menghabiskan satu tahun anggaran karena akan melibatkan DPRD dalam
pembahasannya. Pemerintah pusat dalam hal ini depdagri dan LKPP harus
memberikan waktu yang cukup agar kewajiban membentuk LPSE pada 2014 dapat
dipenuhi oleh semua daerah.
Dengan
asumsi tersebut, maka setidaknya pada akhir tahun ini (2012) harus sudah ada
kepastian yang jelas, misalnya dengan merevisi PP38 dan 41 sehingga LKPP segera
bisa mengeluarkan peraturan Kepala LKPP tentang pedoman pembentukan ULP sebagai
derivat dari perpress tersebut. Jika hal ini bisa dipenuhi, diharapkan pada
awal tahun 2013 Pemerintah daerah bisa segera melakukan revisi Perda tentang
OPD yang salah satunya memasukan point tentang pembentukan ULP. Dengan demikian
pada tahun 2014, harapanya kewajiban membentuk ULP dapat dipenuhi oleh daerah.
Namun
perlu juga dicatat juga bagi daerah, Pembentukan ULP tersebut seyogyanya bukan
hanya berdasarkan pemenuhan terhadap kewajiban yang diatur didalam perpres,
lebih penting lagi adalah harus didasari oleh spirit dalam melakukan perubahan
ke arah yang lebih baik. Amiin.