Rabu, 27 April 2011

UPAYA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MELALUI IDE “GILA” REFORMASI PENGADAAN BARANG/JASA

CORRUPTION ERADICATION :

UPAYA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MELALUI IDE “GILA” REFORMASI PENGADAAN BARANG/JASA


Konteks

Pengadaan barang/jasa (PBJ) hingga saat ini selalu menjadi isu yang menarik untuk di kaji. Hal ini karena kegiatan pengadaan melibatkan anggaran yang sangat besar, disisi lain besar pula tingkat kebocoran yang terjadi. KPK menyebutkan bahwa kebocoran anggaran mencapai lebih dari 35%. Bahkan jauh hari sebelumnya prof Sumitro Jojohadikusumo pernah m”enyampaikan bahwa kebocorang anggaran akibat pengadaan barang/jasa mencapai 30-50 persen.

Besarnya tingkat kebocoran ini diakibatkan oleh besarnya masalah yang terjadi pada pengadaan barang/jasa, diantaranya : rendahnya kapasitas panitia pelaksana pengadaan, rendahnya tingkat kompetisi, dan erat kaitannya dengan politisasi, khususnya untuk paket kegiatan yang nilainya besar.

Berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan itu telah dan sedang dilakukan, baik oleh pemerintah pusat, daerah bahkan CSO’s. Namun indikasi keberhasilan dari berbagai upaya tersebut belum jelas terlihat. Meskipun sebetulnya sudah ada beberapa daerah yang dianggap best practice, namun sejauh mana keberhasilannya dalam pengikisan korupsi, sungguh belum terukur dengan jelas.

banyak yang beranggapan bahwa e-proc dan pembentukan ULP merupakan solusi yang tepat. Pertanyaannya, apakah problem korupsi betul betul bisa dikikis habis dengan reformasi yang selama ini sudah dilakukan??


Mengurai benang kusut

Sudah kita fahami bersama salah satu problem dalam PBJ adalah terjadinya ketidak adilan, ketidak terbukaan, ketidak transparanan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menyebabkan ketidak efisienan harga dan ketidak efektifan barang/jasa yang dihasilkan. Akibatnya anggaran yang di gelontorkan pemerintah untuk “membiayai” kegiatan itu, menjadi terbuang sia-sia. Masyarakatpun tidak dapat menikmati hasilnya dengan semestinya.

Reformasi PBJ melalui penerapan e-proc dan ULP bertujuan untuk membuka pasar yang lebih luas, mengefisienkan biaya operasional, memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh peserta untuk turut serta dalam kompetisi, mengurangi interaksi antara panitia (evaluator) dengan peserta, dan lain sebagainya. Keberhasilan ini telah dibuktikan oleh kota Surabaya sebagai salah satu contohnya, atau kabupaten purwakarta yang telah berhasil menghemat anggaran sebesar 22,03 % dari pagu. Banyak lagi contoh keberhasilan lainnya.

Penghematan anggaran tersebut, dimungkinkan akibat dari efisiennya system administrasi birokrasi yang berhasil dibangun oleh kedua bentuk reformasi tersebut (Beuraucratic Reforms). Dalam konteks ini merupakan salah satu keberhasilan yang patut di apresiasi dan di contoh oleh daerah lainnya.

Namun sayangnya, e-proc dan ULP serta bentuk reformasi lainnya ternyata belum mampu memutus rantai korupsi. Keberpihakan birokrasi terhadap salah satu penawar, masih pula dimungkinkan terjadi. Ini akibat keterlibatan struktur birokrasi yang telah ber-mindset korup dalam PBJ.

Study kasus penulis terhadap salah satu daerah yang telah dianggap sebagai best practice, menunjukan bahwa reformasi tersebut masih jauh dari harapan untuk terbebas dari cengkraman koruptor. Daerah X (sebut saja begitu) tersebut telah sukses mengimplementasikan e-proc dan kelembagaan ULP, termasuk juga komitmen untuk melakukan peningkatan kapasitas melalui sertifikasi pengadaan barang/jasa yang diselenggarakan oleh LKPP. Namun segala bentuk reform tersebut belum mampu membatasi politisasi pengadaan barang/jasa oleh kepala daerah, sebagai salah satu actor utamanya.

Hal ini karena, e-proc misalnya, hanya mengintervensi proses penawarannya saja, dimana seluruh vendors berhak ikut serta dalam pelelangan yang dilakukan. Sementara proses evaluasi dilakukan secara manual, oleh staf ULP (jika sudah yang memiliki ULP). Dalam tahap evaluasi ini yang sebetulnya salah satu kerawanan praktek keberpihakan untuk memenangkan salah satu pemenang. Dalam tahap ini pula sangat dimungkinkan intervensi kepala daerah (misalnya) untuk meminta agar proses evaluasi di atur dan di carikan justifikasinya.

Sebagai ilustrasi, Misalnya perusahaan A ikut pelelangan di daerah X, perusahaan tersebut kemudian menghubungi kepala daerah yang bersangkutan dan terjadilah “deal-deal” tertentu. Hingga akhirnya kepala daerah tersebut menginstruksikan kepada evaluator untuk memenangkan perusahaan A dengan berbagai cara. Tak punya pilihan lain, evaluator tersebut pun mematuhi “instruksi” tersebut, dalam posisi inilah independensi evaluator tersebut dipertanyakan.

Bentuk kepatuhan evaluator tersebut diwujudkan melalui “pengkondisian” dan membuat justifikasi untuk memenangkan perusahaan A tersebut. Meskipun sangat dimungkinkan ada perusahaan lain yang lebih baik, tetapi keberpihakan telah mampu mengendalikan segalanya. Disisi lain hasil evaluasi ataupun dokumen para penawar, saat ini dianggap “haram” untuk diakses public atau pihak lainnya (kecuali untuk kepentingan penyidikan). Padahal dokumen para penawar tersebut sebetulnya bisa dijadikan alat untuk menemukan indikasi kecurangan yang mungkin terjadi pada saat evaluasi.

Akibat dari kecurangan dalam tahap evaluasi yang memenangkan perusahaan A tersebut, memungkinkan terjadinya minimalisasi spesifikasi, volume dan kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Hal ini akibat dari biaya operasional yang didapatkan dari kontrak pekerjaan terhadap perusahaan tersebut telah dikurangi “kick back” yang menjadi salah satu item deal dengan kepala daerah X tersebut.

Perusahaan tentunya tak pernah mau rugi, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut menggunakan biaya yang sangat minimalis. Karena nilai kontrak yang diterima, dikurangi kick back, terus dikurangi saving yang harus dilakukan agar tetap untung. Banyak studi yang menunjukan bahwa pelaksanaan pekerjaan biasanya hanya menggunakan biaya kurang dari 60% dari nilai kontrak.

Oleh karena itu, wajar jika kita lihat banyak hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana, baik dari sisi kualitas, maupun umur pakai. Di bandung saja contohnya, hampir tidak ditemukan jalan yang berumur lebih dari 3 tahun. Lebih dari satu tahun pun, jalan jalan tersebut sudah rusak dan bolong bolong bak sungai kering.

Ide “gila’ reformasi

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, reformasi yang dilakukan sebelumnya telah banyak memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pengadaan barang dan jasa, baik melalui e-proc, pembentukan ULP atau bentuk reform lainnya. Oleh karena itu bentuk-bentuk reform ini tetap harus dilanjutkan dan dikembangkan kedepannya.

Namun untuk mengurangi kecurangan dalam tahapan evaluasi diatas, yang nyaris tak pernah tersentuh oleh ide reformasi selama ini adalah pengawasan. Pengawasan ini bisa dilakukan pada tahapan evaluasi, dan tahap pelaksanaan pekerjaan, untuk membandingkan kesesuaian perencanaan dengan pelaksanaan pekerjaan. Namun pelaksanaan pengawasan saat ini masih sangat sulit untuk dilakukan, khususnya pada saat evaluasi penawaran.

Kita cukup faham dan maklum jika kegiatan evaluasi, harus dilakukan di belakang layar dan steril dari kepentingan para peserta. Hal ini untuk menjaga “independensi” (katanya) dalam melakukan evaluasi. Oleh karena itu, proses evaluasi pada prinsipnya tidak bisa di “intervensi” dengan alas an apapun. Yang bisa dilakukan adalah pengawasan/evaluasi setelah evaluator selesai melakukan evaluasi, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh pihak yang ditunjuk sebagai pemenang. Pengawasan bisa dilakukan oleh masyarakat, peserta lelang, lembaga pemeriksa, dan pemerintah sendiri.

Logical Framework

Ada beberapa syarat utama untuk melakukan pengawasan, yang pertama, menghalalkan dokumen hasil evaluasi untuk diakses public atau pihak lain yang berkepentingan. Seperti kita ketahui bahwa selama ini dokumen-dokumen tersebut dianggap rahasia dan haram diketahui public, alasannya salah satunya adalah “confidential” perusahaan dan terkategori rahasia Negara (katanya). Menurut pandangan penulis, kondisi inilah yang memenjarakan public untuk melakukan pengawasan. Disisi lain sebetulnya UU tentang informasi public mengamanatkan bahwa public berhak tahu terhadap informasi yang dimiliki oleh pemerintah. Urusan confidential, sebetulnya tidak semua yang termuat dalam dokumen penawaran termasuk kedalam “confidential”. Ini hanya masalah teknis, pada prinsipnya pemilahan hal-hal yang boleh diketahui dan tidak boleh diketahui dalam dokumen penawaran tersebut, bisa dikaji selanjutnya.

Peng”halal”an tersebut bisa dimulai dengan melakukan pengumuman secara transparan seluruh hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh evaluator. Selanjutnya mempermudah publik untuk mengakses dokumen-dokumen hasil evaluasi. Dengan jalan ini, publik dapat melakukan evaluasi terhadap hasil evaluasi yang dilakukan oleh evaluator. Dengan kata lain, pengawasan dalam tahap ini adalah dengan cara meninjau sejauhmana hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh evaluator sesuai dengan prosedur yang seharusnya diikuti (cross check). Proses pengawasan dalam tahap ini diyakini dapat menjamin evaluator untuk memutuskan pemenang dengan cara dan criteria yang terbaik, sekaligus menutup peluang evaluator “bermain”.

Kedua, penghalalan juga bisa diperlakukan terhadap dokumen pemenang (dokumen kontrak). Dengan modal dokumen ini, public bisa mengukur kesesuaian rencana dengan pelaksanaan pekerjaannya. Proses ini diyakini dapat menutup peluang vendors untuk “memainkan” pekerjaannya. Sehingga hasil pekerjaan yang telah dilakukan sesuai dengan anggaran yang di keluarkan pemerintah.

Kedua upaya tersebut seyoyanya bisa segera di lakukan, kita adalah pembayar pajak, dan punya hak untuk menjamin anggaran yang dikeluarkan pemerintah sesuai dengan peruntukannya. Namun penulis sadari, bahwa tulisan ini adalah ide yang masih dianggap “gila”, tidak mudah untuk mengubah sifat “haram” menjadi “halal”. Ada benteng tebal dan besar yang diciptakan dan dijaga oleh para ponggawa koruptor untuk menghalangi segala macam upaya untuk mewujudkan clean goverment. Namun upaya tak boleh kendur, semangat harus terus dikobarkan untuk menembus dinding tebal itu, sehingga pengadaaan barang/jasa dapat membuat masyarakat sejahtera! Amiin

"Koruptor selalu kreatif, kita harus lebih kreatif!"

Copyright : mokhikbal@2011