Kamis, 12 Agustus 2010

PERCEPATAN PEMBANGUNAN MELALUI REFORMASI PENGADAAN BARANG/JASA DI KABUPATEN PURWAKARTA

(dimuat dalam Buletin Procurement,kerjasama B_Trust dengan Europen Union)

Dasar pemikiran dibentuknya daerah otonom menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain hal tersebut, juga diharapkan dapat terwujudnya peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokratisasi, pemerataan, keadilan, kekhususan dan potensi daerah serta tertib administrasi pemerintah daerah.

Ketertiban dibidang Administrasi Pemerintah Daerah akan tercapai jika perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pemerintah serta pembangunan dilakukan melalui tata pemerintahan yang baik (Good Governance), antara lain dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Sementara itu, data menunjukkan bahwa sebanyak 24 dari 33 kasus atau 77 persen kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan kasus tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sementara, hasil kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam Country Procurement Assessment Report (CPAR) tahun 2001 menyebutkan kebocoran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebesar 10-50 persen.

Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah kabupaten Purwakarta membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) melalui Peraturan Bupati nomor 14 tahun 2008 tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan pada Pemerintah kabupaten Purwakarta. Ide dasar pembentukan ULP ini adalah melakukan pemusatan seluruh kegiatan pengadaan pemerintah kedalam institusi tertentu sebagai upaya agar pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan lebih efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Selain itu, ULP juga dibentuk untuk mensiasati keterbatasan jumlah pegawai yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa.

Masalah pengadaan
Setelah ULP tersebut beroperasi selama satu tahun anggaran (2008), beberapa keluhan masih sering muncul dari berbagai pihak, baik dari pihak rekanan, SKPD, maupun dari ULP sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Procurement Reform B_Trust yang tertuang dalam Baseline Report (2009) menunjukan bahwa keluhan tersebut diakibatkan oleh beberapa permasalahan utama, diantaranya adalah: pertama, terjadinya beban psikologis yang dihadapi panitia karena tingginya resiko yang ditanggung dalam kasus-kasus yang seringkali berujung dipihak kejaksaan dan kepolisian. Kondisi ini juga mengakibatkan terganggunya jadwal kegiatan pengadaan yang telah ditetapkan karena biasanya panitia lebih terfokus untuk menghadapi kasus yang dialaminya. Ditambah lagi kasus tersebut (biasanya) tidak mendapat backup atau bantuan hukum dari pihak pemerintah, Faktor-faktor ini dapat menjadi salah satu penyebab keengganan pegawai-pegawai pemerintah dalam mengikuti ujian sertifikasi keahlian pengadaan, sehingga menyebabkan keterbatasan jumlah pegawai yang bersertifikat.

Kedua, Idealnya Panitia pengadaan bekerja secara profesional dan independen. Namun dalam prakteknya saat ini panitia masih rentan terhadap “gangguan” dan tekanan. Salah satu penyebabnya karena proses pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan secara manual yang memungkinkan tingginya tingkat interaksi baik antar rekanan sendiri, maupun antara rekanan dengan Panitia. Interaksi ini dimulai dari pendaftaran, Aanweijzing, pemasukan penawaran, hingga penentuan calon pemenang. Interaksi ini menimbulkan terbukanya peluang untuk melakukan tekanan-tekanan baik bersifat psikologis maupun fisik yang biasanya bertujuan untuk memaksakan agar paket-paket yang dilelangkan ”diberikan” kepada dirinya atau anggota kelompoknya.

Selain itu, tekanan juga sering muncul dari kalangan birokrat sendiri. Tekanan dari pihak birokrat biasanya dilakukan oleh atasan langsung. Seringkali panitia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti “kenginginan”atasannya tersebut. Tekanan dari pihak birokrat terjadi karena status kepegawaian pegawai ULP memiliki peran ganda yaitu sebagai pegawai SKPD yang secara struktural memiliki atasan.

Ketiga, saat ini ULP tidak memiliki perangkat yang bertugas melakukan kegiatan administrasi dan management pengadaan. Selama ini fungsi-fungsi administrasi dan management pengadaan dilakukan secara fungsional oleh ketua yang dibantu oleh sekretaris karena staf lain hanya bersifat sebagai tugas perbantuan. Artinya, staf-staf tersebut hanya berkantor di ULP jika ada kegiatan pengadan. Konsekwensinya, ketua melakukan tugas-tugas pra-kegiatan pengadaan sebagai seorang single fighter.

Pembenahan
Beberapa permasalahan utama tersebut telah menyebabkan kekecewaan baik dari pihak panitia maupun rekanan. Oleh karena itu, seyogyanya Pemerintah kabupaten Purwakarta bersegera melakukan beberapa pembenahan, diantaranya adalah pertama, pemerintah daerah harus berani mem-backup dengan memberikan bantuan hukum untuk setiap kasus yang terkait dengan kegiatan pengadaan. Ini penting untuk dilakukan agar setiap panitia merasa diperhatikan dan dilindungi.

Kedua, perlu dilakukan re-design terhadap kelembagaan ULP. Design yang harus dilakukan adalah diantaranya pemisahan antara ketua ULP dan panitia, dalam kata lain ketua tidak boleh merangkap sebagai anggota, sehingga ketua dapat lebih fokus dalam melakukan tugas-tugas managemen. Selain itu, ULP harus memiliki perangkat yang berfungsi melakukan tugas-tugas administratif sebagai supporting unit terhadap tugas-tugas panitia. Banyak hal lagi yang harus dikaji ulang terkait kelembagaan, SDM, sarana-prasarana dan lain sebagainya.

Terakhir, Perlu dilakukan terobosan yang dapat membatasi “ruang” interaksi diantara penitia dan rekanan sehingga “tekanan” dapat diminimalisir. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan penggunaan system elektronik (electronic Procurement/e-proc) dalam setiap tahapan pengadaan seperti yang telah dilakukan oleh beberapa daerah, salah satunya adalah Pemerintah Kota Surabaya.

Selain bisa memperkecil peluang hubungan langsung antara peserta, penggunaan system e-proc oleh Pemkot Surabaya juga telah berhasil meningkatkan partisipasi pengusaha kecil dimana 73 % pemenang lelang adalah pengusaha kecil pada tahun 2005. Waktu yang dibutuhkan untuk satu putaran lelangpun berkurang dari yang biasanya 36-45 hari menjadi 28 hari saja. Dari segi efisiensi, pada tahun 2004 terjadi efisiensi hingga 25%, sedangkan pada tahun 2005 sebesar 21% dan tahun 2006 mencapai 23%. Efisiensi terhadap biaya proses bisa mencapai 80% karena adanya pengurangan penggunaan kertas kerja yang sangat signifikan.

Dengan demikian, ketiga formulasi tersebut sedapat mungkin untuk segera dilakukan, mengingat pengadaan merupakan penunjang utama pembangunan. Oleh karena itu, model pembaharuan yang tepat menjadi salah satu kunci sukses untuk segera mewujudkan kesejahteraan masyarakat menuju Digjaya Purwakarta seperti yang menjadi harapan selama ini. Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. komentar, kritik, saran, atau apapun dipersilahkan..