Selasa, 03 Mei 2011

Dasar Anak Kampung!

Dasar anak kampung! mungkin itulah pernyataan orang lain ketika mengetahui keinginan, dan harapanku, yang secara pikir seolah-olah ingin membalikan dunia, setidaknya Indonesia.

yuppss aku adalah anak kampung, memang sekampung-kampungnya orang kampung, terlahir di kampung, besar di kampung, kecuali sempat mengenyam pendidikan (PT) agak sedikit kota. "kampung" selalu identik dengan keterbelakangan, dan kemiskinan. Dua kondisi itu bak sahabat sejati yang selalu beriringan. kalo ada keterbelakangan, pasti ada kemiskinan, begitupun sebaliknya.

jika ada yang mengatakan aku orang kampung, seharusnya tak tersinggung. karena begitulah adanya. tapi aku ingin membuktikan bahwa "kekampungan-ku" tak identik dengan stigma kemiskinan dan keterbelakangan.

terlahir sebagai anak dari seorang ayah (asli dari kampung) dan ibu (agak kampung). masa-masa kecil keseharianku dihabiskan dengan main layang-layang, kelereng, gatrik dengan teman-teman sekampungku yang khas dengan "budug" yang ditandai dengan nanah dimana-mana, termasuk di kepala. ya, kami semua begitu (termasuk akupun pernah begitu), tapi akupun tak tahu mengapa pada saat itu hampir semua dari kami, mengalami hal itu. entahlah apakah kekurangan gizi akibat kemiskinan, atau pola sanitasi yang tidak baik. hihihihi...dasar anak kampung, aku pun merasa apa yang terjadi pada masa itu seolah biasa-biasa saja. gak aneh sama sekali.

Aku masih jauh beruntung dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Meskipun hidup di kampung dengan berbagai keterbatasan finansial, yang juga membatasiku dalam mengakses kehidupan yang lebih baik, Aku memiliki ayah yang -menurutku- visioner (ceileeee...prikitiw..). Memiliki pandangan jauh kedepan. Keterbatasan ekonomi kami, justru malah membuat ayahku sering berpesan untuk menggapai pendidikan setinggi langit (ketinggian ga ya..?), seraya mengutip hadis2 Rasulullah biasanya. "jangan malu karena miskin dan kampung, percaya dirilah karena kamu berilmu" itulah kira2 pesan yang saya ingat dari ayah saya pada masa-masa itu. "ulah dusun, kudu wanter!" , artinya " jangan merasa rendah diri, harus percaya diri!". duh pesan itu...(mengenang). "moal ngawarisan harta, da teu boga!", artinya bahwa beliau ga akan mewarisi ku dengan harta, karena ga punya!.

Pandangan tentang itu semakin terbukti, ketika orangtuaku bersusah payah menyekolahkan ku dan Teteh-ku, padahal kondisi ekonomi keluarga kami (pada waktu itu) luarbiasa sangat tak menentu. Disisi lain, tak ada satupun anak dari kampungku yang berpendidikan SMA, hanya aku dan tetehku yang mengalami itu. Apalagi ketika kami masuk perguruan tinggi. waduuuuh ga ada sama sekali. (jadi inget,,,ortuku melakukan segala cara, jual ini-jual itu, bekerja segala macam, semata-mata untuk menyekolahkan kami..semoga Allah memuliakannya di dunia dan akhirat. Amiin)

Ayahku, katanya lulusan SD (pada waktu itu) lalu sempat ke pesantren (sebentar). Tapi beliau yang pertama kali memperkenalkanku ke wilayah sosial dan politik. Dalam konteks itu aku menganggap ayahku sangat berwawasan luas, karena begitu rajin mengikuti perkembangan sosial dan politik, baik di tingkat nasional, bahkan internasional. Mungkin terpengaruh oleh itu pulalah, sehingga aku di beri nama "iqbal", mungkin karena terkagum-kagum sama seorang tokoh internasional yang terkenal luar biasa.

Ayahku tak pernah mau diganggu kalau sedang menyimak berita tentang politik. Dengan bahasa-bahasa populer yang sering diistilahkannya, (biasanya selalu ada akhiran "isme", "si", log de el el), membuatku sering mengaguminya (meskipun aku ga ngerti maksudnya), pada masa itu. Meskipun begitu, bagi sebagian orang "kota" ,menganggap ayahku "legeg"( loba gaya). bahkan ada satu statemen dari salah satu orang saudaraku (orang kota yang menganggap dirinya lebih hebat dan pintar) dengan sinis berkata" halah pira lulusan SD, loba gaya, sok!" dan parahnya itu terdengar oleh ku, sebagai anak dari orang yang dihina olehnya..arghhhhhh..ingin ku ludahi aja tu orang..(aku benci sekali sama orang itu, sampe sekarang!)

kehidupan keluargaku, nila-nilai yang ditanamkan ortu-ku, serta hinaan-hinaan yang diterima, mungkin yang telah membentuk ku seperti saat ini. aku lebih cenderung tertarik dengan permasalahan sosial/politik, dibandingkan dengan permasalahan teknologi dan ilmu alam.

kecenderungan itu kian tinggi, karena saat ini aku bergabung di salah satu LSM di Bandung. sudah hampir 5 tahun lebih saya di LSM tersebut.

Sebagai anak kampung, aku bercita-cita kembali ke kampungku suatu saat nanti. Bukan sebagai anak kampung yang "budug" , bodoh, terbelakang dan kampungan. Bukan pula sebagai anak kampung yang hanya memikirkan "hidup"nya hari ini. Tetapi anak kampung yang siap, merubah stigma itu semua. Anak kampung yang siap melakukan perubahan. Anak kampung yang bercita-cita memajukan kehidupan sosial. Anak kampung kampung yang ingin menyiapkan langkah-langkah untuk jutaan tahun kedepan, untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan.

huuuuh dasar anak kampung!!



1 komentar:

  1. Berbahagialah bisa menjadi orang kampung, masih bisa merasakan segarnya udara dan tempat yang bebas polusi. Bisa main sebebasnya, tanpa takut tak kebagian lahan. Sudahlah tak perlu membatasi diri menjadi kampung dan bukan kampung. Tidak selamanya kampung itu identik dengan dusun, terbelakang, pesakitan dan tidak laku. Buktinya ayam kampung paling enak dikonsumsi. Nyambung teu nya? Hidup kampung, asal jangan kampungan. Kalau kata tukul: wajah boleh deso yang penting salary kota,...he he.

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. komentar, kritik, saran, atau apapun dipersilahkan..