Hari ini Warga Jakarta memilih calon Gubernur baru yang terdiri dari 6 pasangan calon dari beberapa partai besar dan satu dari Independen. Meskipun ini merupakan Pilkada (lokal) tetapi konstelasi politik DKI memang memiliki magnet tersendiri, mengingat DKI menjadi miniatur bahkan barometer politik di Indonesia. Wajar jadinya, jika berbagai pihak terus memberikan perhatian terhadap proses Pilkada ini, seperti saya. Meskipun saya tidak memiliki hak pilih di Jakarta, tetapi bagi saya Pilkada ini merupakan proses penting yang akan menentukan Indonesia, bukan hanya sekedar Jakarta. terlebih 2014 sebentar lagi!
Jika dikaitkan dengan 2014 dimana Pemilu akan berlangsung, siapapun Gubernur Jakarta akan memberikan peran dalam mewarnai politik 2014 nanti. Oleh karenanya, Pilkada ini sangat penting. Kalo saya sih, berharap Pilkada ini menghasilkan pasangan Gubernur dan wakilnya yang bersih, memiliki integritas dan faham persoalan jakarta.
Quick Count yang saya lihat di TV skarang ini, mengindikasikan ada dua pasangan calon yang berpotensi menjadi pemenang (baik satu atau dua putaran). Ada Jokowi dan Foke, aaah sebetulnya orang-orang mengenal Jokowi sebagai sosok yang bersih dan berintegritas, terlebih dianggap berhasil memimpin Kota Surakarta (Solo), saya sih ga begitu mengerti meskipun juga tidak berusaha menentang pendapat tersebut. Sementara Foke, hmmm..saya agak kurang percaya kalo dia itu bersih, apalagi selama 5 tahun sebagai Gubernur, kayaknya ga ada perubahan signifikan di Jakarta. So..saya mengikuti pendapat nya MataNajwa "Jika tak ada yang ideal, pilihlah yang masuk akal !", nice quote
Bagi saya, bersih, bersintegritas lebih penting dalam mewujudkan pembangunan yang baik dibandingkan urusan kecerdasan. Dasar pemikiran ini sebetulnya sederhana saja, toh selama ini yang menghancurkan negara ini bukanlah karena pemimpinnya bodoh, tetapi karena pemimpinnya tidak memiliki integritas dan kejujuran dalam memimpin rakyatnya. Akhirnya anggaran disadap atau bahkan di rampok demi kepentingan kelompoknya, dan kepentingan politiknya. Bahkan Kebijakan pun lebih "menghamba" kepada asing dan kapitalisme global. Padahal, rakyatnya gigit jari!
Teringat pernyataan Warren Buffet: " I'm Looking someone to hire, im looking for 3 qualities, Intelegence, Energy and Integrity. however Integrity is the most important quality. because if they don't have it, then Intelegence and Energy can be very dangerous!!
Betul banget kata dia, Integritas betul-betul harus menjadi kriteria yang diutamakan dalam memilih pemimpin. karena kalo ga punya integritas, kecerdasannya hanya akan digunakan untuk "ngibulin" rakyatnya. Ahh semoga aja siapapun yang akan memimpin Jakarta, memiliki integritas yang baik untuk Indonesia yang lebih baik!! Amiin.
Rabu, 11 Juli 2012
Jumat, 22 Juni 2012
CATATAN HASIL DISKUSI STUDI TENTANG KANTOR LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA KOTA BANJAR
Sekilas
Kota Banjar
Kota Banjar berada di perbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah, yaitu dengan Kabupaten
Cilacap. Banjar merupakan menjadi pintu gerbang utama jalur lintas
selatan Jawa Barat. Untuk membedakannya dengan Banjarnegara
yang berada di Jawa Tengah, kota ini sering disebut juga Banjar Patroman (dari nama asal
"Banjar Pataruman").
Kota Banjar terbentuk sejak 1 Desember tahun 2002,
setelah sebelumnya merupakan Kota Administratif dibawah Pemerintah Kabupaten
Ciamis
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1991 tentang Pembentukan Banjar
Kota Administratif yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 2
Maret 1992.
Secara administratif, kota ini
terdiri atas 4 kecamatan yaitu Banjar, Purwaharja, Pataruman, dan Langensari,
yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Banjar pernah menjadi kota kecamatan bagian dari Kabupaten
Ciamis, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif.
Pembentukan Kantor Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kota
Banjar (KLP)
ULP Kota Banjar telah lahir sejak tahun 2007, berbentuk
lembaga ad oc (fungsional) bertempat di Bagian Pengendalian program Setda Kota
Banjar. Pembentukan ini didasari oleh keterbatasan personil yang memiliki
sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa dan Kepres 80/2003 yang
mengisyaratkan pembentukan ULP sebagai lembaga yang berfungsi untuk
memfasilitas pengadaan barang/jasa.
Selama perjalanannya pihak pemkot menyadari banyak
keterbatasan yang dihadapi oleh lembaga ini, salah satunya diakibatkan oleh
status kepegawaian ULP ini bersifat fungsional (tugas perbantuan), dalam kata
lain bahwa pegawai masih dibebankan tugas oleh OPD asalnya, sehingga
menyebabkan kinerjanya menjadi tidak optimal. Disisi lain, ketiadaan jenjang karir yang jelas,
menimbulkan disinsentif bagi pegawai ULP, dan kebergantungan penganggaran pada
Bagian Pengendalian Program serta masih banyak permasalahan lainnya.
Sadar akan berbagai permasalahan yang muncul tersebut,
Pihak Pemkot mulai mewacanakan kelembagaan ULP yang bersifat independen, dalam
artian bahwa kelembagaan ULP yang bersifat struktural dan memiliki pegawai yang
permanen, sehingga dapat menjamin kinerja yang lebih baik lagi. Selain itu,
juga ide ULP independen ini diharapkan dapat meminimalisir intervensi atas “kepentingan”
dari OPD-OPD. Gayung Bersambut, Ide ini ternyata seiring dengan lahirnya
Perpres 54/2010 yang mengisyaratkan pembentukan ULP secara permanen/struktural.
Pada tahun 2011, Pihak Pemkot mulai melakukan upaya
serius dengan membahas kelembagaan ULP permanen. Proses drafting dilakukan oleh
tim ULP, Bagian Organisasi dan Bagian Hukum, kemudian dibahas dan disahkan di
DPRD Kota Banjar pada akhir tahun 2011. Hasil dari Proses ini adalah lahirnya Peraturan
Daerah nomor 10 tahun 2011 tentang perubahan kedua atas peraturan daerah kota
Banjar nomor 11 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kota Banjar dan
ditandatangani oleh walikota pada tanggal 29 Desember 2011.
Salah satu isi dari Perda tersebut adalah Pembentukan Kantor
Layanan Pengadaan Barang/Jasa (KLP) yang merupakan bagian dari Organisasi
Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Banjar, sekaligus berarti secara
legal formal lembaga ULP dan fungsinya digantikan oleh KLP ini.
Kantor
Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kota Banjar
Menurut Kepala KLP dan jajarannya, meskipun pengadaan
barang/jasa bukan merupakan urusan (urusan wajib ataupun pilihan) seperti yang
diatur dalam PP 38/2010, tapi pengadaan barang/jasa memerlukan perhatian khusus
karena menyangkut sejumlah anggaran yang sangat besar, sehingga menimbulkan
beban kerja yang tinggi. Di sisi lain, celah terbentuknya lembaga ULP
struktural menurut mereka, terdapat dalam PP 41 tahun 2010, dimana lembaga ULP
struktural ini bisa dikategorikan sebagai “lembaga teknis lainnya”.
Dengan dasar pemahaman tersebut, Pihak pemkot membentuk
KLP dengan bentuk Kantor dan dibawah dan bertanggungjawab kepada Walikota
melalui sekretaris daerah. KLP yang dipimpin oleh kepala kantor (eselon III/a),
dibantu oleh Sub Bagian Umum dan Kepegawaian serta Subagian Administrasi
Pengadaan Barang/Jasa. Jumlah keseluruhan pegawai KLP saat ini adalah 8 orang,
terdiri dari 1 kepala kantor, 2 Sub bagian, dan 5 staff
Secara teknis, proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa di
KLP dilakukan oleh dua Kelompok Kerja (Pokja), yaitu Pokja Pengadaan Jasa
Konstruksi dan Konsultansi dan Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya. Secara
administratif, kenggotaan Pokja masih bersifat adhoc (tidak permanen dan non
organik), artinya anggota pokja bukan merupakan bagian organik KLP dan berasal
dari OPD-OPD yang memiliki kualifikasi ahli dibidang pengadaan barang/jasa.
Meskipun demikian, tidak menutup
kemungkinan pegawai KLP (baik pejabat maupun staf) untuk merangkap sebagai
anggota Pokja.
Oleh karena itu, anggota Pokja tidak memiliki jam/hari
kerja yang tetap. Anggota Pokja berkantor di KLP jika ada kegiatan pelelangan
dan jika “tidak ada pekerjaan” dari OPD asalnya. Karena seperti desain
sebelumnya pada ULP, Pokja memiliki “double job” yaitu tugas di OPDnya dan
tugas di KLP. Dalam hal, terdapat tugas dari dua institusi tersebut secara
bersamaan, maka anggota pokja terpaksa harus memprioritaskan tugas dari OPD
asalnya.
Desain kenggotaan Pokja yang bersifat adhoc tersebut
dipengaruhi oleh Perka LKPP nomor 002/PRT/KA/VII/2009 tentang Pedoman Pembentukan Unit
Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengisyaratkan bahwa status Pokja
didalam ULP bersifat tidak permanen. Perka ini masih mengacu kepada Kepres
80/2003 dan belum dicabut meskipun Kepres tersebut telah dicabut diganti oleh
Perpres 54/2010. Namun setelah keluarnya Perka LKPP no 5 Tahun 2012 yang mencabut Perka sebelumnya
tersebut, Pihak Pemkot Banjar akan bersegera melakukan perubahan atas desain
kelembagaan KLP dimana Pokja akan menjadi bagian organik dari KLP itu sendiri.
Dalam konteks insentif, Pemerintah Kota Banjar memberikan
tunjangan (diluar gaji rutin) bagi Pokja bervariasi bergantung pada beban
kerjanya masing-masing, misalnya Ketua Pokja 2 juta/bulan, Sekretaris 1.5
juta/bulan dan anggota 1 juta/bulan. Sementara pegawai yang secara organik
berada di KLP tidak mendapatkan tunjangan seperti ini.
Menurut mereka, Jika dibandingkan dengan beban kerjanya,
tunjangan yang di”tarif”bulanan ini, tidak sebanding. Sebagai catatan bahwa
paket pengadaan di Kota Banjar pada tahun 2012 ini berjumlah lebih dari 160
paket yang dilakukan oleh 12 orang.
Alur
Umum Proses Pelelangan
Seperti ULP lain pada umumnya, tugas dan kewenangan KLP
Kota Banjar mengikuti Perpres 54/2010 dimana KLP berfungsi sebagai fasilitator
bagi OPD dalam bidang pengadaan barang/jasa di kota banjar. Namun secara umum
tahapn yang dilakukan KLP dalam hubungannya dengan OPD dapat digambarkan secara
sederhana sebagai berikut:
|
No
|
Kegiatan
|
OPD
|
KLP
|
|
1
|
Penetapan Kegiatan dan paket
|
y
|
|
|
2
|
Menentukan rencana pelelangan selama 1 TA
|
|
y
|
|
3
|
Meminta OPD untuk mengirimkan rencana kegiatan dan
paket yang akan dilelangkan disesuaikan dengan jadwal pelelangan yang telah
ditetapkan KLP
|
|
y
|
|
4
|
Mengirimkan nama-nama paket kepada KLP sesuai dengan
rencana jadwal pelelangan yang dibuat KLP
|
y
|
|
|
5
|
Mengumumkan Rencana Umum Pengadaan (RUP)
|
|
y
|
|
6
|
Mengirimkan dokumen perencanaan untuk dilelangkan
melalui KLP
|
y
|
|
|
7
|
Proses lelang secara serentak
|
|
y
|
Setelah APBD murni disahkan untuk Tahun Anggaran yang berkenaan, maka KLP
segera merumuskan rencana jadwal pelelangan selama satu tahun anggaran tersebut
untuk dijadikan acuan bagi OPD dalam menentukan paket-paket yang akan
dilelangkan melalui KLP. Berdasarkan jadwal tersebut, OPD mengirimkan daftar
nama-nama paket yang akan dilelangkan untuk dikemas oleh KLP menjadi Rencana
Umum Pengadaan (RUP) pada bulan
Februari.
Setelah RUP diumumkan, kemudian KLP meminta OPD untuk mengirimkan dokumen
perencanaan paket-paket yang akan dilelangkan, selambat-lambatnya akhir bulan
Maret. Setelah dokumen perencanaan yang diminta terkumpul, maka pada bulan
April hingga Juli, KLP melakukan proses pelelangan hingga terpilih pemenang.
Dalam hal ada dokumen perencanaan yang terlambat di sampaikan kepada KLP pada
bulan Maret tadi, maka konsekwensinya akan dilelangkan menyusul setelah bulan
Juli.
Strategi penentuan jadwal oleh KLP ini dilakukan untuk memaksa OPD untuk
bersegera menyusun dokumen perencanaan, sehingga tidak ada paket yang tidak
terserap akibat keterlambatan. Strategi lain yang digunakan oleh KLP adalah
dengan menyampaikan laporan secara rutin (satu bulan satu kali) kepada Sekda
dan Walikota, menggunakan momentum rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh
walikota, sehingga bila ada paket-paket yang dokumen perencanaannya terlambat
dikirimkan kepada KLP, maka Sekda dan walikota akan menegur OPD yang
bersangkutan. Jadi secara teknis, KLP hanya melakukan dua periode pelelangan,
yaitu fase pelelangan APBD murni dan fase APBD perubahan.
Dalam Proses Pelalangan, KLP difasilitasi oleh sistem
LPSE. LPSE di Kota banjar, sejak tahun 2012, berbentuk UPTD di dinas
Perhubungan. UPTD dikelapai oleh seorang pejabat Eselon IV/a dan 1 orang
sekretaris dan 1 anggota.
Sumber: Perda, Perwal yang terkait dan hasil diskusi dengan narasumber
****Haturnuhun****
Kamis, 31 Mei 2012
Dokter parah..
gara-gara maagku ga kunjung sembuh, dan aku tak mampu lagi mengelak atas istriku yang terus2an nyuruh ke dokter..akhirnya kemarin siang terpaksa deh ke dokter. dari awal sebetulnya males ke dokter, bukan apa2 yang pertama ga ada dokter yang ku kenal kualitasnya (dari pada buang2 duit percuma?), yang kedua aku juga dah tau pasti hasil diagnosa dokter tersebut memvonisku sakit maag,( karena gini gini juga aku juga sebetulnya dokter, cm dulu ga jadi kuliah di kedokteran aja hehehe). So yang kubutuhkan adalah resep pengobatannnya, karena kalo soal diagnosa yakin banget deh, pasti maag. yo wiss lah..datenglah ke salah satu klinik 24 jam, hihihi..
pas daftar, seperti biasa ditanya identitas, dari situ aku mulai mikir ini ga meyakinkan,,heheehe. tapi dengan tekad kuat, tetaplah daku mengantri di klinik tsb. ketika si pasien dipanggil satu persatu, mulai lah bakat investigasi ku nampak. kuhitung berapa lama pasien di dalam kamar periksa tersebut. dan hasilnya rata-rata tidak lebih dari 3 menit, bahkan ada yang cuma 1 menit..mulai deh mikir, masih perlu ngantri atau lanjut aja??hehehe
permasalahannya, dugaanku, kalo waktu pasien dikamar periksanya cuma sebentar, maka ada beberapa kemungkinan, pertama pasti dokter itu gak bener, males2an meriksa pasien, ga komunikatif dengan pasien bahkan males menjawab pertanyaan pasien (mungkin dipikirnya pasien kayak gitu cerewet). kedua, dokter itu lagi kejar target (pengen mobil baru kaleee), kayak prinsip ekonomi, dengan waktu yang sesingkat2nya tp dapet pasien sebanyak-banyaknya, so besar pula lah pendapatan si dokter brengsek itu (mulai emosi nih,,,wkwkwkw). ketiga, dokter itu pasti dokter dokteran, alias dokter gadungan hahahahah
dengan niat menghilangkan rasa penasaran, kuputuskan untuk tetap ngantri. ketika namaku mulai dipanggil, tak ragu lagi, langsung deh menuju ruang periksa. ketika buka pintu, kutemui sesosok manusia berbadan besar, pake kemeja lusuh, dengan muka yang nampak baru bangun tidur,,,heheheh dialah dokternya. dengan jutek, si dokter nanya, kenapa? kujelaskan aja..terus diukur tensi, udah deh..nulis resep. pas kutanya saya sakit apa, dia jawab singkat maag! (kalo jawabanya itu doang saya dah tau kaleee) hadeeuh..dia cuma pesen jangan makan pedas dan asem (dah tau juga kaleee...hihihi)
lebih parah lagi, temenku yang sakit gigi, tanpa diperiksa dia langsung tulis resep dan resep nya adalah.....amoxcillin (antibiotik) dan antalgin hahahah...dokter ini dah kayak dukun kampung aja
itulah contoh potret dokter di Indonesia...semakin menguatkanku untuk punya rumah sakit, dan akan ku kontrol seketat mungkin agar semua dokter di rumah sakitku melayani pasien dengan baik, tanpa membedakan latar belakang sosial ataupun ekonominya..karena tugas dokter sebetulnya sangat mulia kalo dijalankan dengan baik..
semoga terwujud, amiiin
pas daftar, seperti biasa ditanya identitas, dari situ aku mulai mikir ini ga meyakinkan,,heheehe. tapi dengan tekad kuat, tetaplah daku mengantri di klinik tsb. ketika si pasien dipanggil satu persatu, mulai lah bakat investigasi ku nampak. kuhitung berapa lama pasien di dalam kamar periksa tersebut. dan hasilnya rata-rata tidak lebih dari 3 menit, bahkan ada yang cuma 1 menit..mulai deh mikir, masih perlu ngantri atau lanjut aja??hehehe
permasalahannya, dugaanku, kalo waktu pasien dikamar periksanya cuma sebentar, maka ada beberapa kemungkinan, pertama pasti dokter itu gak bener, males2an meriksa pasien, ga komunikatif dengan pasien bahkan males menjawab pertanyaan pasien (mungkin dipikirnya pasien kayak gitu cerewet). kedua, dokter itu lagi kejar target (pengen mobil baru kaleee), kayak prinsip ekonomi, dengan waktu yang sesingkat2nya tp dapet pasien sebanyak-banyaknya, so besar pula lah pendapatan si dokter brengsek itu (mulai emosi nih,,,wkwkwkw). ketiga, dokter itu pasti dokter dokteran, alias dokter gadungan hahahahah
dengan niat menghilangkan rasa penasaran, kuputuskan untuk tetap ngantri. ketika namaku mulai dipanggil, tak ragu lagi, langsung deh menuju ruang periksa. ketika buka pintu, kutemui sesosok manusia berbadan besar, pake kemeja lusuh, dengan muka yang nampak baru bangun tidur,,,heheheh dialah dokternya. dengan jutek, si dokter nanya, kenapa? kujelaskan aja..terus diukur tensi, udah deh..nulis resep. pas kutanya saya sakit apa, dia jawab singkat maag! (kalo jawabanya itu doang saya dah tau kaleee) hadeeuh..dia cuma pesen jangan makan pedas dan asem (dah tau juga kaleee...hihihi)
lebih parah lagi, temenku yang sakit gigi, tanpa diperiksa dia langsung tulis resep dan resep nya adalah.....amoxcillin (antibiotik) dan antalgin hahahah...dokter ini dah kayak dukun kampung aja
itulah contoh potret dokter di Indonesia...semakin menguatkanku untuk punya rumah sakit, dan akan ku kontrol seketat mungkin agar semua dokter di rumah sakitku melayani pasien dengan baik, tanpa membedakan latar belakang sosial ataupun ekonominya..karena tugas dokter sebetulnya sangat mulia kalo dijalankan dengan baik..
semoga terwujud, amiiin
Jumat, 09 Maret 2012
Problematika Pembentukan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Polemik tentang problem pengadaan barang/jasa telah berlangsung sejak lama, peraturan yang mendasarinya pun dari tahun ke tahun senantiasa bergantian. Namun apakah problem pengadaan kemudian menjadi selesai karenanya? Tentunya perlu analisis lebih lanjut. Namun secara umum peraturan presiden no 45 /2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menggantikan Kepress 80/2003 memang menyiratkan beberapa perbaikan, salah satunya klausul tentang pembentukan ULP meskipun masih juga menyediakan banyak klausul yang menjadi “celah” bagi proses pengadaan yang tidak sehat. Oleh karena itu, tulisan kali ini hanya akan membahas lebih lanjut tentang isu ULP yang menurut perpres 54/2010 akan diwajibkan pada tahun 2014.
Isu unit layanan pengadaan barang/jasa (ULP) merupakan isu yang sudah lama bergulir, jauh sebelum lahirnya perpres 54 ini. Tepatnya istilah ULP mulai dikenal sejak Kepres 80/2003, namun bentuk dan kejelasan tentang ULP belum secara tegas diatur didalam kepres 80/2003 tersebut. Namun demikian, sejak saat itu sudah mulai bermunculan ULP-ULP diberbagai daerah dengan bentuk dan tugas yang bermacam-macam, disesuaikan dengan “ijtihad”masing-masing disesuaikan dengan tafsir mereka terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait.
Selain berdasarkan Kepres 80/2003, Dorongan pembentukan ULP ini juga didasari oleh terjadinya masalah-masalah disektor pengadaan barang/jasa. salah satunya adalah adanya kewajiban pemilihan pengadaan barang/jasa yang harus dilakukan oleh personal yang bersertifikat, sementara jumlah pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa di daerah tersebut sangat sedikit. Nah, untuk mengatasi permasalahan tersebut, pembentukan ULP dianggap merupakan salah satu solusi, sehingga dengan memusatkan seluruh proses pemilihan penyedia barang/jasa di ULP, maka kebutuhan jumlah pegawai yang akan menangani itu akan lebih lebih efisien dibandingkan dengan total kebutuhan pegawai jika pengadaan dilakukan di masing-masing OPD.
ULP menurut Kepres 80/2003 dan Permasalahannya
Seperti yang diulas sebelumnya, ULP merupakan salah satu solusi dalam mengatasi keterbatasan pegawai bersertifikat, namun disisi lain menimbulkan masalah baru. ULP yang dibentuk berdasarkan kepress tersebut masih bersifat lembaga non struktural, artinya bukan lembaga yang terkategori sebagai Organisasi Perangkat Daerah, sehingga personilnya pun secara strukural masih merupakan bagian dari personil OPD asalnya. Dengan kata lain, personel tersebut memiliki fungsi, tugas, tanggung jawab yang rangkap yaitu sebagai “orang” OPD dan sebagai “orang” ULP. Dengan kata lain penugasan seorang pegawai di ULP tidak lantas menghilangkan tanggungjawabnya sebagai pegawai OPD. Bahkan dari perspektif administrasi, siapapun yang bertugas di ULP akan mengedepankan tugasnya sebagai pegawai OPD dibandingkan tugas di ULP sendiri, karena OPD menjanjikan jenjang “karir” yang lebih jelas dibandingkan dengan ULP. Sementara itu ULP sendiri tidak memiliki jenjang karing yang tegas, karena sifatnya sebagai lembaga “pelengkap”.
Dampak lain dari lembaga ULP yang bersifat non struktural adalah “rawan intervensi” dari OPD. Secara sederhana digambarkan, permasalahan intervensi ini muncul karena pegawai ULP memiliki atasan srukturalnya, sehingga dengan demikian kepentingan OPD sangat mudah masuk kedalam ULP melalui pegawai-pegawai yang notabene merupakan pegawai OPD tersebut. Tentunya masih banyak masalah lain yang tidak akan dibahas lebih lanjut di tulisan ini.
Mewujudkan ULP versi Perpres 54/2010 dan hambatannya
Masalah-masalah yang muncul akibat status ULP yang bersifat non strukural diatas, selanjutnya menjadi dasar lahirnya cita-cita untuk mewujudkan ULP yang bersifat struktural. Lebih tepatnya, saat ini ide itu telah diakomodir dalam pasal 1 Perpres 54/2010 yang mendefinisikan sebagai berikut: “Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada”.
Definisi tersebut memberi gambaran tentang status ULP yang dimaksud menurut perpres ini yaitu bersifat permanen. Permanen disini diartikan bahwa ULP tidak lagi bersifat kepanitiaan atau ad-hoc, melainkan bersifat tetap dapat berdiri sendiri seperti halnya OPD lain ataupun menjadi bagian dari OPD yang sudah ada, misalnya dalam hal ini UPTD,bidang, sub bidang, atau struktur lain yang menjadi bagian dari OPD.
Tampaknya definisi ULP yang tercantum dalam Perpres 54 tersebut membuat status ULP menjadi terang benderang. Namun apakah Perpress ini bisa serta-merta dijadikan rujukan dalam membentuk ULP struktural tadi? Mari kita lanjutkan pembahasannya..
OPD merupakan perangkat yang dimiliki oleh daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik. Secara aturan, Pembentukan OPD didasari oleh Peraturan Pemerintah no 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Isi dari PP ini (kurang lebih) menjelaskan beberapa point penting, misalnya syarat pembentukan OPD, syarat OPD, struktur dasar OPD, kuota OPD yang diperbolehkan dibentuk berdasarkan kriteria daerah , dan lain sebagainya. Yang lebih penting dari ini adalah bahwa OPD dibentuk harus berdasarkan “urusan” yang menjadi kewenangan daerah.
Nah, urusan yang menjadi kewenangan daerah telah dijelaskan dalam PP38/2007 tentang urusan yang lahir sebelum PP41 tadi. PP ini memberikan ketentuan tentang urusan-urusan apa saja yang menjadi kewenangan daerah, namun secara umum terbagi menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Secara sederhana, urusan wajib adalah urusan yang wajib dikelola /dilayani/diurusi pemerintah daerah. Sebaliknya urusan pilihan adalah urusan yang bisa dijadikan pilihan oleh pemda untuk mengelola/melayani suatu urusan. Urusan pilihan ini prinsipnya boleh dipilih oleh daerah disesuaikan dengan potensi dan kondisi daerahnya masing-masing, tentunya sepanjang masih memenuhi “kuota” yang ditetapkan oleh PP 41 tadi diatas.
Berkaitan dengan ULP tadi, perspektif PP38 tidak memasukan urusan pengadaan barang/jasa baik sebagai urusan pilihan maupun urusan wajib. Dengan kata lain pengadaan barang/jasa hanya dikategorikan sebagai penunjang terlaksananya urusan. Lebih jelas lagi di PP 41 sebagai kelanjutan dari PP38, sama sekali tidak memasukan tentang pembentukan ULP.
Kesimpulannya, disatu sisi Perpres 54/2010 mengisyaratkan pembentukan ULP struktural baik sebagai OPD sendiri maupun bagian dari OPD, tetapi disisi lain PP 38 dan PP 41 tidak mengakomodir terbentuknya ULP sebagai OPD. Nah ketidaknyambungan ini yang seringkali membingungkan bagi daerah-daerah yang berkeinginan membentuk ULP sesuai dengan perpres.
(sekedar)Tawaran Solusi
Pemerintah sebagai “bidan” yang melahirkan semua peraturan yang “tidak nyambung” tadi, harus segera mencari terobosan. Harus diingat, kewajiban pembentukan ULP akan diberlakukan pada tahun 2014, artinya hanya tinggal 2 tahun lagi dari sekarang. Sementara peraturan-peraturan baik PP 41 maupun 38 belum ada tanda-tanda akan direvisi.
LKPP sebagai lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa yang bertanggungjawab melahirkan Perpres 54 juga tidak harus berdiam diri. Kebingungan pemerintah daerah harus segera direspon, karena daerah sangat menggantungkan kepada “fatwa” pemerintah pusat. Karena jelas, menurut UU 10/2004 kedudukan Perpres lebih rendah dibandingkan dengan PP, sehingga tidak mungkin bagi daerah mendahulukan Perpres dan mengabaikan PP yang secara hirarki menurut UU tersebut lebih tinggi.
Oleh karena itu, Depdagri dan LKPP harus duduk bersama mencari solusi dari masalah ini. Ingat, pembentukan OPD di daerah memerlukan waktu yang tidak sebentar, setidaknya menghabiskan satu tahun anggaran karena akan melibatkan DPRD dalam pembahasannya. Pemerintah pusat dalam hal ini depdagri dan LKPP harus memberikan waktu yang cukup agar kewajiban membentuk LPSE pada 2014 dapat dipenuhi oleh semua daerah.
Dengan asumsi tersebut, maka setidaknya pada akhir tahun ini (2012) harus sudah ada kepastian yang jelas, misalnya dengan merevisi PP38 dan 41 sehingga LKPP segera bisa mengeluarkan peraturan Kepala LKPP tentang pedoman pembentukan ULP sebagai derivat dari perpress tersebut. Jika hal ini bisa dipenuhi, diharapkan pada awal tahun 2013 Pemerintah daerah bisa segera melakukan revisi Perda tentang OPD yang salah satunya memasukan point tentang pembentukan ULP. Dengan demikian pada tahun 2014, harapanya kewajiban membentuk ULP dapat dipenuhi oleh daerah.
Namun perlu juga dicatat juga bagi daerah, Pembentukan ULP tersebut seyogyanya bukan hanya berdasarkan pemenuhan terhadap kewajiban yang diatur didalam perpres, lebih penting lagi adalah harus didasari oleh spirit dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Amiin.
Isu unit layanan pengadaan barang/jasa (ULP) merupakan isu yang sudah lama bergulir, jauh sebelum lahirnya perpres 54 ini. Tepatnya istilah ULP mulai dikenal sejak Kepres 80/2003, namun bentuk dan kejelasan tentang ULP belum secara tegas diatur didalam kepres 80/2003 tersebut. Namun demikian, sejak saat itu sudah mulai bermunculan ULP-ULP diberbagai daerah dengan bentuk dan tugas yang bermacam-macam, disesuaikan dengan “ijtihad”masing-masing disesuaikan dengan tafsir mereka terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait.
Selain berdasarkan Kepres 80/2003, Dorongan pembentukan ULP ini juga didasari oleh terjadinya masalah-masalah disektor pengadaan barang/jasa. salah satunya adalah adanya kewajiban pemilihan pengadaan barang/jasa yang harus dilakukan oleh personal yang bersertifikat, sementara jumlah pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa di daerah tersebut sangat sedikit. Nah, untuk mengatasi permasalahan tersebut, pembentukan ULP dianggap merupakan salah satu solusi, sehingga dengan memusatkan seluruh proses pemilihan penyedia barang/jasa di ULP, maka kebutuhan jumlah pegawai yang akan menangani itu akan lebih lebih efisien dibandingkan dengan total kebutuhan pegawai jika pengadaan dilakukan di masing-masing OPD.
ULP menurut Kepres 80/2003 dan Permasalahannya
Seperti yang diulas sebelumnya, ULP merupakan salah satu solusi dalam mengatasi keterbatasan pegawai bersertifikat, namun disisi lain menimbulkan masalah baru. ULP yang dibentuk berdasarkan kepress tersebut masih bersifat lembaga non struktural, artinya bukan lembaga yang terkategori sebagai Organisasi Perangkat Daerah, sehingga personilnya pun secara strukural masih merupakan bagian dari personil OPD asalnya. Dengan kata lain, personel tersebut memiliki fungsi, tugas, tanggung jawab yang rangkap yaitu sebagai “orang” OPD dan sebagai “orang” ULP. Dengan kata lain penugasan seorang pegawai di ULP tidak lantas menghilangkan tanggungjawabnya sebagai pegawai OPD. Bahkan dari perspektif administrasi, siapapun yang bertugas di ULP akan mengedepankan tugasnya sebagai pegawai OPD dibandingkan tugas di ULP sendiri, karena OPD menjanjikan jenjang “karir” yang lebih jelas dibandingkan dengan ULP. Sementara itu ULP sendiri tidak memiliki jenjang karing yang tegas, karena sifatnya sebagai lembaga “pelengkap”.
Dampak lain dari lembaga ULP yang bersifat non struktural adalah “rawan intervensi” dari OPD. Secara sederhana digambarkan, permasalahan intervensi ini muncul karena pegawai ULP memiliki atasan srukturalnya, sehingga dengan demikian kepentingan OPD sangat mudah masuk kedalam ULP melalui pegawai-pegawai yang notabene merupakan pegawai OPD tersebut. Tentunya masih banyak masalah lain yang tidak akan dibahas lebih lanjut di tulisan ini.
Mewujudkan ULP versi Perpres 54/2010 dan hambatannya
Masalah-masalah yang muncul akibat status ULP yang bersifat non strukural diatas, selanjutnya menjadi dasar lahirnya cita-cita untuk mewujudkan ULP yang bersifat struktural. Lebih tepatnya, saat ini ide itu telah diakomodir dalam pasal 1 Perpres 54/2010 yang mendefinisikan sebagai berikut: “Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada”.
Definisi tersebut memberi gambaran tentang status ULP yang dimaksud menurut perpres ini yaitu bersifat permanen. Permanen disini diartikan bahwa ULP tidak lagi bersifat kepanitiaan atau ad-hoc, melainkan bersifat tetap dapat berdiri sendiri seperti halnya OPD lain ataupun menjadi bagian dari OPD yang sudah ada, misalnya dalam hal ini UPTD,bidang, sub bidang, atau struktur lain yang menjadi bagian dari OPD.
Tampaknya definisi ULP yang tercantum dalam Perpres 54 tersebut membuat status ULP menjadi terang benderang. Namun apakah Perpress ini bisa serta-merta dijadikan rujukan dalam membentuk ULP struktural tadi? Mari kita lanjutkan pembahasannya..
OPD merupakan perangkat yang dimiliki oleh daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik. Secara aturan, Pembentukan OPD didasari oleh Peraturan Pemerintah no 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Isi dari PP ini (kurang lebih) menjelaskan beberapa point penting, misalnya syarat pembentukan OPD, syarat OPD, struktur dasar OPD, kuota OPD yang diperbolehkan dibentuk berdasarkan kriteria daerah , dan lain sebagainya. Yang lebih penting dari ini adalah bahwa OPD dibentuk harus berdasarkan “urusan” yang menjadi kewenangan daerah.
Nah, urusan yang menjadi kewenangan daerah telah dijelaskan dalam PP38/2007 tentang urusan yang lahir sebelum PP41 tadi. PP ini memberikan ketentuan tentang urusan-urusan apa saja yang menjadi kewenangan daerah, namun secara umum terbagi menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Secara sederhana, urusan wajib adalah urusan yang wajib dikelola /dilayani/diurusi pemerintah daerah. Sebaliknya urusan pilihan adalah urusan yang bisa dijadikan pilihan oleh pemda untuk mengelola/melayani suatu urusan. Urusan pilihan ini prinsipnya boleh dipilih oleh daerah disesuaikan dengan potensi dan kondisi daerahnya masing-masing, tentunya sepanjang masih memenuhi “kuota” yang ditetapkan oleh PP 41 tadi diatas.
Berkaitan dengan ULP tadi, perspektif PP38 tidak memasukan urusan pengadaan barang/jasa baik sebagai urusan pilihan maupun urusan wajib. Dengan kata lain pengadaan barang/jasa hanya dikategorikan sebagai penunjang terlaksananya urusan. Lebih jelas lagi di PP 41 sebagai kelanjutan dari PP38, sama sekali tidak memasukan tentang pembentukan ULP.
Kesimpulannya, disatu sisi Perpres 54/2010 mengisyaratkan pembentukan ULP struktural baik sebagai OPD sendiri maupun bagian dari OPD, tetapi disisi lain PP 38 dan PP 41 tidak mengakomodir terbentuknya ULP sebagai OPD. Nah ketidaknyambungan ini yang seringkali membingungkan bagi daerah-daerah yang berkeinginan membentuk ULP sesuai dengan perpres.
(sekedar)Tawaran Solusi
Pemerintah sebagai “bidan” yang melahirkan semua peraturan yang “tidak nyambung” tadi, harus segera mencari terobosan. Harus diingat, kewajiban pembentukan ULP akan diberlakukan pada tahun 2014, artinya hanya tinggal 2 tahun lagi dari sekarang. Sementara peraturan-peraturan baik PP 41 maupun 38 belum ada tanda-tanda akan direvisi.
LKPP sebagai lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa yang bertanggungjawab melahirkan Perpres 54 juga tidak harus berdiam diri. Kebingungan pemerintah daerah harus segera direspon, karena daerah sangat menggantungkan kepada “fatwa” pemerintah pusat. Karena jelas, menurut UU 10/2004 kedudukan Perpres lebih rendah dibandingkan dengan PP, sehingga tidak mungkin bagi daerah mendahulukan Perpres dan mengabaikan PP yang secara hirarki menurut UU tersebut lebih tinggi.
Oleh karena itu, Depdagri dan LKPP harus duduk bersama mencari solusi dari masalah ini. Ingat, pembentukan OPD di daerah memerlukan waktu yang tidak sebentar, setidaknya menghabiskan satu tahun anggaran karena akan melibatkan DPRD dalam pembahasannya. Pemerintah pusat dalam hal ini depdagri dan LKPP harus memberikan waktu yang cukup agar kewajiban membentuk LPSE pada 2014 dapat dipenuhi oleh semua daerah.
Dengan asumsi tersebut, maka setidaknya pada akhir tahun ini (2012) harus sudah ada kepastian yang jelas, misalnya dengan merevisi PP38 dan 41 sehingga LKPP segera bisa mengeluarkan peraturan Kepala LKPP tentang pedoman pembentukan ULP sebagai derivat dari perpress tersebut. Jika hal ini bisa dipenuhi, diharapkan pada awal tahun 2013 Pemerintah daerah bisa segera melakukan revisi Perda tentang OPD yang salah satunya memasukan point tentang pembentukan ULP. Dengan demikian pada tahun 2014, harapanya kewajiban membentuk ULP dapat dipenuhi oleh daerah.
Namun perlu juga dicatat juga bagi daerah, Pembentukan ULP tersebut seyogyanya bukan hanya berdasarkan pemenuhan terhadap kewajiban yang diatur didalam perpres, lebih penting lagi adalah harus didasari oleh spirit dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Amiin.
Jumat, 24 Februari 2012
Tergiur..
Tiba-tiba teringat sekitar 15 tahun yang lalu...
suatu pagi,ku melihat ada motor bagus di depan rumah ku terparkir dengan rapih dan gagah. terpana dengan motor tersebut, dengan teliti akupun melihat bagian-bagian motor tersebut yang tampak masih kinclong..beningg gan..
Motor itu, bermerk honda astrea. Jelas sekali, aku tergiur melihatnya..ingin rasanya memilikinya..tapi "mesti tau dirilah"..beli motor buat keluargaku masih dianggap mimpi..boro2 beli motorlah..hehehehe
Motor itu, ternyata milik teman orang tuaku yang tinggalnya dikampung tetangga. kebetulan dia baru pulang dari perantauan, maklum orang tasik memang gemar merantau hehehe. Dia tergolong sukses di perantauannya, buktinya motor seperti itu tlah mampu dibelinya.
sedang asyik melihat-lihat kagum, tiba-tiba si Empunya datang..dengan gamblang dan tampak bangga, dia menceritakan tentang bagian-bagian motor itu, bahkan dia pun menjelaskan bahwa motor itu masih baru dan bagus...ah bikin tambah iri aja.
hmmm..hari bahkan keadaan kini telah berubah..Ini semua berkat kemudahan dan kemurahan Allah kepada hidupKu. Alhamdulillah
suatu pagi,ku melihat ada motor bagus di depan rumah ku terparkir dengan rapih dan gagah. terpana dengan motor tersebut, dengan teliti akupun melihat bagian-bagian motor tersebut yang tampak masih kinclong..beningg gan..
Motor itu, bermerk honda astrea. Jelas sekali, aku tergiur melihatnya..ingin rasanya memilikinya..tapi "mesti tau dirilah"..beli motor buat keluargaku masih dianggap mimpi..boro2 beli motorlah..hehehehe
Motor itu, ternyata milik teman orang tuaku yang tinggalnya dikampung tetangga. kebetulan dia baru pulang dari perantauan, maklum orang tasik memang gemar merantau hehehe. Dia tergolong sukses di perantauannya, buktinya motor seperti itu tlah mampu dibelinya.
sedang asyik melihat-lihat kagum, tiba-tiba si Empunya datang..dengan gamblang dan tampak bangga, dia menceritakan tentang bagian-bagian motor itu, bahkan dia pun menjelaskan bahwa motor itu masih baru dan bagus...ah bikin tambah iri aja.
hmmm..hari bahkan keadaan kini telah berubah..Ini semua berkat kemudahan dan kemurahan Allah kepada hidupKu. Alhamdulillah
Kamis, 23 Februari 2012
early warning Corruption System
Tak perlu diragukan lagi, Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan sasaran empuk bagi para politisi korup, birokrat korup dan juga pengusaha bermental egois yang hanya memikirkan perut buncitnya sendiri. Belanja ini bernilai hampir 40 % dari belanja keseluruhan APBD/APBN, nilai yang sangat fantastis, menjadi alasan yang masuk akal jika Pengadaan barang/jasa (PBJ) disukai oleh para tikus. ibarat kucing dikasih ikan, langsung di embat tanpa basa-basi.
Akibatnya, mayoritas kasus korupsi yang ditangani KPK saat ini masih di dominasi oleh kasus2 penyimpangan dalam PBJ. Begitu banyak para pejabat yang masuk bui akbat PBJ ini. tetapi para tikus2 itu tak kemudian menjadi kapok, atau jera melihat tikus lainnya dibui. mereka bahkan mencari cara lain (yang lebih smart) agar dapat mengelabui para penegak hukum..hheheheheh I Love this Country..
Oleh karena itu, sistem pencegahan korupsi harus lebih berorientasi kepada upaya preventif dari pada curatif. Dalam hal ini, KPK, LKPP dan lembaga berwenang lainnya harus segera duduk bersama untuk menghambat laju korupsi di negeri ini. Dalam konteks korupsi PBJ, pembangunan sistem yang bisa memberi tanda indikasi terjadinya korupsi sangat penting untuk dilakukan sehingga dengan dasar indikasi tersebut, KPK bisa segera melakukan pengusutan.
Early Warning Corruption System
EWCS ini merupakan salah satu tools yang berguna sebagai indikator terjadinya korupsi dibidang PBJ. salah satu syarat yang bisa digunakan untuk pembangunan sistem ini adalah integrasi data-data PBJ yang terintegrasi, yang kemudian diolah oleh system.
sebetulnya cikal bakal integrasi data sudah ada di websitenya LPSE, dimana setiap PBJ yang dilakukan melalui sistem LPSE akan masuk ke database LPSE/LKPP. hanya saja problemnya bahwa saat ini ternyata database itu tidak bisa dilihat secara realtime melalui SMART REPORT LKPP (un up to date).
Selain itu, catatan lain dari smart report tersebut adalah minimnya data yang dimunculkan, sehingga sulit untuk melakukan analisis lbh jauh. tp saya kira berbagai catatan tersebut bukan hal yang prinsipil karena pada dasarnya perbaikan terhadap sistem tersebut bisa dilakukan asalkan ada kemauan.
sebagai gambaran, fitur2 yang kiranya perlu ada dalam smart report diantaranya sebagai berikut :
1. selisih antara nilai pagu dengan kontrak
jika selisihnya terlalu besar, misalnya nilai kontrak hampir 50% atau bahkan hampir 100% dari nilai pagu, system seharusnya memberikan warning. tentunya selisih ini bukan berarti pasti terjadi korupsi, melainkan bisa dijadikan indikasi awal saja, kalau toh ternyata itu bisa dibuktikan kebenarannya tentunya tidak menjadi masalah.
2. Asal usul peserta tender.
monopoli dalam PBJ bukanlah hal yang aneh. modus ini sering digunakan oleh beberapa kelmpok yang ingin memonopoli pemenangan tanpa melalui persaingan yang sehat dengan cara mendaftarkan perusahaan2nya untuk mengikuti tender tersebut agar seolah2 tender tersebut kompetitif. padahal perusahaan manapun yang menang, pada dasarnya tidak menjadi masalah karena perusahaan2 yang diajukan tersebut masih menjadi bagian dari miliknya.
modus ini biasanya merupakan hasil kolaborasi antara pengusaha dengan oknum pemerintah, tentunya dengan deal2 tertentu. akibatnya pemenanganan menjadi tidak kompetitif.
Oleh karena itu, sistem ini perlu memiliki data asal usul peserta tender dengan berdasarkan kepada database pengusaha. sehingga jika dalam suatu tender system menemukan beberapa perusahaan yang dimiliki oleh orang yang sama atau kerabatnya, sistem memberikan warning.
3. frekuensi menang
setiap perusahaan yang mengikuti tender pasti ingin memenangkan proyeknya. tetapi jika dalam 1 tahun perusahaan yang sama memenangkan lebih dari 3 atau bahkan 7 kali tender, rasanya perlu dipertanyakan lebh lanjut, kenapa perusahaan tersebut bisa menang terus menerus?, jangan-jangan.... nah diusutlah..
Beberapa point diatas tentunya bisa di tambahkan atau bahkan diganti sama sekali dengan indikator yang lebih canggih lagi. Point utamanya sistem ini perlu dikembangkan sehingga KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi dapat menindaklanjutinya kemudian. salah satu langkah awal upaya KPK dalam menindaklanjuti indikasi sitem tersebut adalah dengan memberikan akses oleh LKPP kepada KPK untuk setiap dokumen kontrak dan dokumen penawaran yang tersimpan di database LKPP. hal ini mirip LPSK yang bisa memberikan akses kepada KPK jika dibutuhkan.
ah terlalu panjang..udah dulu ah..semoga manfaat.
Akibatnya, mayoritas kasus korupsi yang ditangani KPK saat ini masih di dominasi oleh kasus2 penyimpangan dalam PBJ. Begitu banyak para pejabat yang masuk bui akbat PBJ ini. tetapi para tikus2 itu tak kemudian menjadi kapok, atau jera melihat tikus lainnya dibui. mereka bahkan mencari cara lain (yang lebih smart) agar dapat mengelabui para penegak hukum..hheheheheh I Love this Country..
Oleh karena itu, sistem pencegahan korupsi harus lebih berorientasi kepada upaya preventif dari pada curatif. Dalam hal ini, KPK, LKPP dan lembaga berwenang lainnya harus segera duduk bersama untuk menghambat laju korupsi di negeri ini. Dalam konteks korupsi PBJ, pembangunan sistem yang bisa memberi tanda indikasi terjadinya korupsi sangat penting untuk dilakukan sehingga dengan dasar indikasi tersebut, KPK bisa segera melakukan pengusutan.
Early Warning Corruption System
EWCS ini merupakan salah satu tools yang berguna sebagai indikator terjadinya korupsi dibidang PBJ. salah satu syarat yang bisa digunakan untuk pembangunan sistem ini adalah integrasi data-data PBJ yang terintegrasi, yang kemudian diolah oleh system.
sebetulnya cikal bakal integrasi data sudah ada di websitenya LPSE, dimana setiap PBJ yang dilakukan melalui sistem LPSE akan masuk ke database LPSE/LKPP. hanya saja problemnya bahwa saat ini ternyata database itu tidak bisa dilihat secara realtime melalui SMART REPORT LKPP (un up to date).
Selain itu, catatan lain dari smart report tersebut adalah minimnya data yang dimunculkan, sehingga sulit untuk melakukan analisis lbh jauh. tp saya kira berbagai catatan tersebut bukan hal yang prinsipil karena pada dasarnya perbaikan terhadap sistem tersebut bisa dilakukan asalkan ada kemauan.
sebagai gambaran, fitur2 yang kiranya perlu ada dalam smart report diantaranya sebagai berikut :
1. selisih antara nilai pagu dengan kontrak
jika selisihnya terlalu besar, misalnya nilai kontrak hampir 50% atau bahkan hampir 100% dari nilai pagu, system seharusnya memberikan warning. tentunya selisih ini bukan berarti pasti terjadi korupsi, melainkan bisa dijadikan indikasi awal saja, kalau toh ternyata itu bisa dibuktikan kebenarannya tentunya tidak menjadi masalah.
2. Asal usul peserta tender.
monopoli dalam PBJ bukanlah hal yang aneh. modus ini sering digunakan oleh beberapa kelmpok yang ingin memonopoli pemenangan tanpa melalui persaingan yang sehat dengan cara mendaftarkan perusahaan2nya untuk mengikuti tender tersebut agar seolah2 tender tersebut kompetitif. padahal perusahaan manapun yang menang, pada dasarnya tidak menjadi masalah karena perusahaan2 yang diajukan tersebut masih menjadi bagian dari miliknya.
modus ini biasanya merupakan hasil kolaborasi antara pengusaha dengan oknum pemerintah, tentunya dengan deal2 tertentu. akibatnya pemenanganan menjadi tidak kompetitif.
Oleh karena itu, sistem ini perlu memiliki data asal usul peserta tender dengan berdasarkan kepada database pengusaha. sehingga jika dalam suatu tender system menemukan beberapa perusahaan yang dimiliki oleh orang yang sama atau kerabatnya, sistem memberikan warning.
3. frekuensi menang
setiap perusahaan yang mengikuti tender pasti ingin memenangkan proyeknya. tetapi jika dalam 1 tahun perusahaan yang sama memenangkan lebih dari 3 atau bahkan 7 kali tender, rasanya perlu dipertanyakan lebh lanjut, kenapa perusahaan tersebut bisa menang terus menerus?, jangan-jangan.... nah diusutlah..
Beberapa point diatas tentunya bisa di tambahkan atau bahkan diganti sama sekali dengan indikator yang lebih canggih lagi. Point utamanya sistem ini perlu dikembangkan sehingga KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi dapat menindaklanjutinya kemudian. salah satu langkah awal upaya KPK dalam menindaklanjuti indikasi sitem tersebut adalah dengan memberikan akses oleh LKPP kepada KPK untuk setiap dokumen kontrak dan dokumen penawaran yang tersimpan di database LKPP. hal ini mirip LPSK yang bisa memberikan akses kepada KPK jika dibutuhkan.
ah terlalu panjang..udah dulu ah..semoga manfaat.
Jumat, 06 Januari 2012
Mobnas Esemka: (mungkin) hanya mimpi
Akhir-akhir ini kita lebih sering dijejali dengan informasi baik melalui berita di TV maupun dari media massa lainnya tentang karya luar biasa anak bangsa: Mobil Esemka!
Perhatian publik dan media massa semakin menjadi-jadi karena mobil ini melahirkan sebuah kontroversi. terlihat sekali mana yang mendukung bahkan mana yang menolak dengan berbagai alasan.
Kalau bukan Joko Wi (walikota Surakarta) yang menggunakan mobil ini sebagai kendaraan dinasnya, mungkin kisah mobil ini tidak seheboh sekarang. Selain karena terkenal dengan kepiawaiannya memimpin daerahnya sehingga bisa terus maju, fenomena ini pun muncul karena tanggapan (politis) dari sebagian para politisi, terutama Bibit (gubernur) yang notabene kalo dilihat dari sisi politik sangat wajar dia menghantam terus Jokowi. Bibit memang secara terang-terangan dan secara sarkastis bilang bahwa langkah Jokowi menggunakan mobil esemka adalah sesuatu hal yang gegabah. akhirnya kontroversi ini kemudian menarik perhatian media massa dan semakin populerlah cerita tentang mobil esemka ini.
sebaiknya tulisan saya ini ga usah mengupas tentang sisi politis mobil esemka ini. terlepas dari langkah politis atau bukan, penggunaan mobil esemka oleh Joko Wi dan tekadnya mengupayakan agar mobil ini jadi mobnas merupakan hal yang harus diapresiasi akan keberaniannya, serta penghargaannya terhadap produk karya anak bangsa sendiri. karena selama ini (kecuali timor era 1996an), saat ini hampir tidak ada satupun mobil karya anak bangsa yang dijadikan icon nasional. kita lihat saja, jalanan sangat dijejali dengan kendaraaan eropa, amerika, jepang, korea bahkan malaysiapun kini ikut meluncur ruas-ruas jalan kita. pertanyaannya apakah selama ini kita tidak mampu memproduksi mobil??
Kalau berbicara mampu, saya berpendapat bahwa kita sangat mampu untuk berkarya membuat mobil sendiri, dan lepas dari ketergantungan mobil2 luar. Contohnya selama ini telah banyak sekali proyek-proyek pembuatan mobil yang dilakukan oleh anak bangsa kok, ada yang dinamai KOMODO,Marlip, Arina, Tawon, Gea dan lain-lain. lantas kemana sekarang?? inilah yang jadi inti masalahnya.
Kita tahu, negeri ini menjadi negeri pasar yang luar biasa, dengan potensi 250 juta penduduk yang konsumtif menjadikan negeri ini perebutan pasar yang hebat, termasuk dibidang bisnis mobil. perusahaan-perusahaan mobil raksasa berlomba-lomba untuk mendapatkan pasar ini. salah satu upayanya adalah melalui jalur loby2 kepada para pejabat yang mudah goyah dengan tekanan dan duit. segala rintangan yang berpotensi menghalangi penetrasinya di Indonesia, akan diselesaikan dengan cara menekan para pengambil kebijakan. mungkin itulah yang menyebabkan proyek2 mobil diatas tidak berkembang.
Hal serupa pun mungkin akan dialami oleh proyek mobil esemka ini. perizinan yang dipersulit akan menjadi kendalanya. para ATPM raksasa akan merasa terancam jika esemka ini menjadi proyek Mobil Nasional. maka kira-kira yang dilakukan ATPM adalah melakukan tekanan baik melalui jalur politik maupun ekonomi. upaya ini akan semakin mulus mengingat kepemimpinan nasional kita yang tidak punya ketegasan dan lembek terhadap tekanan-tekanan.
Jika betul terjadi, dengan tekanan yang muncul yang mengakibatkan kebijakan nasional yang tidak berpihak kepada kepentingan bangsa, maka harapan kita punya Mobnas (mungkin) hanya mimpi. semoga dugaan saya salah!
Perhatian publik dan media massa semakin menjadi-jadi karena mobil ini melahirkan sebuah kontroversi. terlihat sekali mana yang mendukung bahkan mana yang menolak dengan berbagai alasan.
Kalau bukan Joko Wi (walikota Surakarta) yang menggunakan mobil ini sebagai kendaraan dinasnya, mungkin kisah mobil ini tidak seheboh sekarang. Selain karena terkenal dengan kepiawaiannya memimpin daerahnya sehingga bisa terus maju, fenomena ini pun muncul karena tanggapan (politis) dari sebagian para politisi, terutama Bibit (gubernur) yang notabene kalo dilihat dari sisi politik sangat wajar dia menghantam terus Jokowi. Bibit memang secara terang-terangan dan secara sarkastis bilang bahwa langkah Jokowi menggunakan mobil esemka adalah sesuatu hal yang gegabah. akhirnya kontroversi ini kemudian menarik perhatian media massa dan semakin populerlah cerita tentang mobil esemka ini.
sebaiknya tulisan saya ini ga usah mengupas tentang sisi politis mobil esemka ini. terlepas dari langkah politis atau bukan, penggunaan mobil esemka oleh Joko Wi dan tekadnya mengupayakan agar mobil ini jadi mobnas merupakan hal yang harus diapresiasi akan keberaniannya, serta penghargaannya terhadap produk karya anak bangsa sendiri. karena selama ini (kecuali timor era 1996an), saat ini hampir tidak ada satupun mobil karya anak bangsa yang dijadikan icon nasional. kita lihat saja, jalanan sangat dijejali dengan kendaraaan eropa, amerika, jepang, korea bahkan malaysiapun kini ikut meluncur ruas-ruas jalan kita. pertanyaannya apakah selama ini kita tidak mampu memproduksi mobil??
Kalau berbicara mampu, saya berpendapat bahwa kita sangat mampu untuk berkarya membuat mobil sendiri, dan lepas dari ketergantungan mobil2 luar. Contohnya selama ini telah banyak sekali proyek-proyek pembuatan mobil yang dilakukan oleh anak bangsa kok, ada yang dinamai KOMODO,Marlip, Arina, Tawon, Gea dan lain-lain. lantas kemana sekarang?? inilah yang jadi inti masalahnya.
Kita tahu, negeri ini menjadi negeri pasar yang luar biasa, dengan potensi 250 juta penduduk yang konsumtif menjadikan negeri ini perebutan pasar yang hebat, termasuk dibidang bisnis mobil. perusahaan-perusahaan mobil raksasa berlomba-lomba untuk mendapatkan pasar ini. salah satu upayanya adalah melalui jalur loby2 kepada para pejabat yang mudah goyah dengan tekanan dan duit. segala rintangan yang berpotensi menghalangi penetrasinya di Indonesia, akan diselesaikan dengan cara menekan para pengambil kebijakan. mungkin itulah yang menyebabkan proyek2 mobil diatas tidak berkembang.
Hal serupa pun mungkin akan dialami oleh proyek mobil esemka ini. perizinan yang dipersulit akan menjadi kendalanya. para ATPM raksasa akan merasa terancam jika esemka ini menjadi proyek Mobil Nasional. maka kira-kira yang dilakukan ATPM adalah melakukan tekanan baik melalui jalur politik maupun ekonomi. upaya ini akan semakin mulus mengingat kepemimpinan nasional kita yang tidak punya ketegasan dan lembek terhadap tekanan-tekanan.
Jika betul terjadi, dengan tekanan yang muncul yang mengakibatkan kebijakan nasional yang tidak berpihak kepada kepentingan bangsa, maka harapan kita punya Mobnas (mungkin) hanya mimpi. semoga dugaan saya salah!
Langganan:
Postingan (Atom)