Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah
mengamanatkan agar KLDI membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP), dan diberi
tenggat waktu hingga tahun 2014 yang lalu. Sejak saat itu, KLDI berlomba-lomba
membentuk ULP tersebut dengan berbagai macam variasi bentuk kelembagaan.
Lantas, mahluk sejenis apakah ULP itu?. Menurut pasal 1
ayat 8 didalam perpres tersebut menjelaskan, bahwa yang dimaksud ULP adalah unit
organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di
K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit
yang sudah ada. Dengan demikian, dari
definisi tersebut setidaknya ada 3 kata kunci utama yang bisa kita maknai,
pertama, ULP merupakan organisasi yang melaksanakan kegiatan pengadaan; kedua,
ULP harus bersifat permanen; dan ketiga, ULP dapat berdiri sendiri atau melekat
pada unit yang telah ada.
Dengan demikian, ketiga kata kunci tersebut merupakan
kriteria yang bisa dijadikan alat ukur untuk melihat dan mendefinisikan sesuatu
disebut ULP atau bukan. Memang istilah “permanen”, “berdiri sendiri” dan
“melekat”, saat ini seringkali menjadi perdebatan yang panjang, karena perpres
tersebut tidak menjelaskan secara detail istilah-istilah tersebut. Inilah yang
menjadi penyebab terjadinya interpretasi yang berbeda-beda pada masing-masing
KLDI. Karena interpretasi yang berbeda inilah yang menyebabkan begitu
beragamnya bentuk kelembagaan ULP di Indonesia. Maka untuk mengakhiri
perdebatan ini, seyogyanya kita kembali mempertanyakan istilah yang dimaksud kepada
LKPP sebagai inisiator dan penyusun Perpres tersebut.
Menurut salah satu sumber di LKPP, Istilah permanen merujuk
pada istilah lembaga struktural, yang implementasinya di pemerintah daerah
diwadahi dalam bentuk SKPD. Sementara istilah berdiri sendiri dimaksudkan bahwa
ULP merupakan SKPD itu sendiri dan istilah “melekat” disematkan pada ULP yang
menjadi salah satu unsur/bagian dari SKPD.
Penjelasan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa jika ada
ULP yang bersifat ad-hoc, maka itu
bukanlah ULP yang dimaksudkan oleh Perpres tersebut, yang artinya dari sudut
pandang ketentuan Perpres, maka dianggap tidak belum memiliki ULP.
Bentuk dan
Nomenklatur kelembagaan ULP
Berdasarkan Kajian akademis Unit Layanan Pengadaan yang
diterbitkan oleh LKPP, Pengadaan Barang/Jasa pada dasarnya bersifat supporting Staff yaitu bahwa Pengadaan
tersebut berperan dalam memberikan jasa pendukung tidak langsung kepada
Organisasi. Dalam kata yang lebih sederhana, pengadaan merupakan salah satu
alat dalam mendukung terlaksananya tugas pokok dan fungsi organisasi. Dalam
tataran implementasinya, fungsi pengadaan barang/jasa berada pada Sekretariat
Jendral di Kementrian atau pada Sekretariat daerah di Pemerintah Daerah..
Jika melihat hal ini, maka sudah tepat jika ULP menjadi
Bagian/Biro pada sekretariat Daerah atau sekretarit jendral pada kementrian.
Namun, fungsi supporting staff
tersebut hanya cocok diterapkan jika istilah pengadaan barang/jasa dimaknai
sebagai kegiatan pemilihan pemenang lelang an
sich, yang fungsinya relatif sederhana.
Sementara Pengadaan barang/jasa merupakan proses yang kompleks yang menempatkan
pemilihan pemenang lelang menjadi salah satu bagian didalamnya.
Lantas apa yang dimaksud dengan “Pengadaan barang/jasa”?
Menurut saya, (yang diterjemahkan secara sederhana dari
Perpres 54/2010 pasal 1 ayat 1), Istilah pengadaan barang/jasa merupakan
seluruh tahapan kegiatan pemerintah dalam memperoleh barang/jasa, dimulai dari
tahap perencanaan hingga barang/jasa yang diinginkan tersebut diperoleh
Pemerintah.
Dengan demikian, kegiatan pengadaan barang/jasa merupakan
kegiatan yang kompleks. Jika dikaitkan dengan fungsi ULP, maka kompleks pula
lah tugas pokok yang harus diemban oleh ULP karena ULP setidaknya memiliki 3 fungsi utama yaitu
: Teknis, Fungsi Koordinasi dan Fungsi Pelayanan/pembinaan. Apalagi jika
dikaitkan dengan isu-isu yang berkembang saat ini, misalnya: isu pengadaan
barng/jasa di pemerintah desa yang menuntut ULP untuk berperan aktif dalam
melakukan pembinaan berkaitan dengan pengadaan barang/jasa; kebutuhan para
pegiat pengadaan untuk mendapatkan perlindungan hukum; kebutuhan terhadap
peningkatan kapasitas bagi internal ULP sendiri (termasuk pokja), SKPD dan
penyedia barang/jasa; dan lain sebagainya.
Lantas, kelembagaan apa yang cocok bagi ULP untuk
melaksanakan fungsi pengadaan??
Naskah akademis yang diterbitkan LKPP tersebut diatas
memberikan keterangan, pada dasarnya fungsi supporting
dapat berkembang menjadi fungsi auxillary
jika organisasi tersebut berkembang menjadi organisasi yang kompleks. Dalam
tataran praktisnya, auxillary tersebut
diimplementasikan di Pemerintah daerah dalam bentuk lembaga teknis daerah
(Badan atau Kantor) atau berbentuk pusat pada Kementrian.
Sebagaimana diuraikan diatas, maka jika kita berharap ULP
menjalankan fungsinya bukan sekedar melaksanakan kegiatan pemilihan pengadaan an-sich, maka beban kerja ULP akan
menjadi sangat besar dan kompleks, oleh kaena itu hanya auxillary yang mampu menjalankan fungsi itu. Ingat, baju sempit hanya cocok bagi orang yang berbadan kurus, hanya
yang baju besarlah yang mampu membungkus orang yang berbadan besar.
Sebagai tambahan, untuk melihat karakteristik ideal ULP
diwadahi dalam bentuk auxillary atau Supporting staff, maka kita perlu membandingkan
kelemahan dan kelebihan masing-masing. Untuk memudahkan, mari kita coba
membandingkan kelebihan dan kelemahan antara ULP berbentuk Bagian dengan
berbentuk Kantor di Pemerintah Daerah (agar aple
to aple karena sama-sama dijabat oleh eselon III)., sebagai berikut:
Lembaga
|
Kelebihan
|
Kelemahan
|
Kantor
(Auxillary)
|
·
Kemandirian dalam pengelolaan anggaran yang
berbentuk DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran).
·
Kepala ULP bertanggungjawab langsung kepada
kepala Daerah. Oleh karena itu, Intervensi dalam proses pemilihan barang/jasa
dapat diminimalisir, karena tidak memiliki atasan selain kepala daerah
·
Tertib administrasi kearsipan.
·
Pembinaan SDM: misalnya karir dan profesionalisme
bagi jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa.
|
·
Belum terakomodir dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri nomor 99 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota
|
Bagian (Supporting)
|
·
ULP Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 99 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten/Kota
·
ULP hanya terdiri dari 1 orang eselon III dan
3 orang eselon IV, sehingga tidak terlalu membebani anggaran jika dibandingkan
dengan ULP berbentuk Badan
·
Tertib administrasi kearsipan.
·
Pembinaan SDM: misalnya karir dan
profesionalisme bagi jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa.
|
·
Kepala ULP dijabat oleh Pejabat Eselon III
(Kepala Bagian), yang secara struktural dibawah Kepala Dinas/Badan (eselon
II). Hal tersebut dapat menghambat komunikasi dan koordinasi langsung dengan
SKPD tersebut.
·
Meskipun ada mata anggaran tersendiri, tetapi secara umum menginduk kepada DPA
Sekretariat Daerah. Hal tersebut menghambat ULP jika Asisten atau Sekretaris
Daerah tidak berkomitmen untuk mendukung kegiatan ULP.
·
Kepala ULP berada dibawah asisten yang juga
berada dibawah Sekretaris Daerah. Oleh
karena itu, ULP memiliki kerentanan terhadap intervensi dari atasan langsung
(Asisten dan Sekda).
|
Bersambung lain waktu ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. komentar, kritik, saran, atau apapun dipersilahkan..