Otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk peningkatan
kualitas pelayanan publik dengan mendekatkan pemberi layanan dengan masyarakat sebagai
yang dilayani. Namun semangat penyerahan kewenangan pusat kepada daerah melalui
penyerahan kewenangan tersebut bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan
kualitas layanan. Pola komunikasi yang beku antara pemberi layanan dengan
masyarakat sebagai penerima layanan seringkali menjadi faktor utama terjadinya
ketidak tepatan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan itu
sendiri.
Peningkatan kualitas pelayanan publik hanya bisa terwujud
oleh adanya keterbukaan dari pemberi layanan untuk memberi kesempatan dan akses
kepada penerima layanan untuk berpartisipasi dalam melakukan perbaikan. Dalam
situasi yang terbuka diantara kedua belah pihak tersebut memungkinkan saling check and balances dengan tujuan utama
meningkatkan kualitas pelayanan.
Untuk mewujudkan tersebut, Undang-undang 25 tahun 2009 telah
secara tegas memerintahkan setiap pemberi layanan harus menyediakan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi melalui penyediaan sarana pengaduan.
Ditambahkan lagi pada pasal lainnya bahwa menyampaikan pengaduan pun merupakan
hak masyarakat sekaligus menjadi kewajiban pemerintah untuk menindaklanjuti dan
menanggapi pengaduan yang disampaikan.
Setelah 3 tahun undang-undang tersebut menegaskan
pentingnya pengaduan, tidak banyak instansi publik yang melaksanakan penanganan
pengaduan ini secara serius. Hal ini terlihat dari sejauhmana fasilitas yang
disediakan betul-betul mempermudah akses masyarakat untuk menyampaikan
pengaduan tersebut. Dengan fasiltas yang seadanya, banyak institusi publik
beranggapan telah melaksanakan UU 25/2009.
Mental inilah yang menghambat perubahan. Spirit
Undang-undang kadang hanya dimaknai sebagai kewajiban “an sich” yang
orientasinya menggugurkan kewajiban saja. Akibatnya, pengaduan yang disampaikan
masyarakatpun tidak ditindaklanjuti secara serius.
Dampak yang muncul berikutnya adalah timbulnya apatisme
masyarakat untuk menyampaikan pengaduan. Ada anggapan bahwa pengaduan apapun
tidak akan ditindaklanjuti oleh instansi yang bersangkutan.
Anggapan tersebut ditunjukan oleh penelitian Bappenas
pada tahun 2010 yang melakukan studi di beberapa instansi pada beberapa wilayah
di Indonesia. Hasilnya, sebanyak 52% menganggap bahwa pengaduan tidak berguna
bagi yang bersangkutan dan 29% ada anggapan bahwa apapun jenis pengaduannya
tidak akan ditindaklanjuti secara serius oleh instansi yang bersangkutan
(skeptis). Sementara sisanya beranggapan bahwa saat ini tidak ada sarana khusus
untuk menyampaikan pengaduan.
Menurut Pattiro (2004) seperti yang dikutip oleh Utomo
(2008), sikap skeptis masyarakat terhadap penanganan pengaduan tersebut
diakibatkan oleh rendahnya respon
instansi penyelenggara pelayanan terhadap keluhan atau pengaduan dari
masyarakat. Intinya, Tidak responsifnya penyelenggara layanan terhadap keluhan
masyarakat menyebabkan masyarakat enggan lagi untuk menyampaikan keluhan lagi.
Dua Kunci
Sukses
Dari beberapa studi tersebut, menunjukan bahwa kunci
sukses penanganan pengaduan terletak pada dua aspek yang sama-sama penting. Pertama,
aspek komitmen pemerintah sebagai pemberi layanan untuk selalu responsif
terhadap keluhan masyarakat dan dituntut untuk memberikan fasilitas yang
memudahkan masyarakat untuk menyampaikan keluhannya.
Komitmen untuk mengelola pengaduan harus dimaknai sebagai
kebutuhan bukan kewajiban. Nampaknya pemerintah harus banyak belajar dari
swasta yang menempatkan keluhan konsumen sebagai “vitamin” untuk memperbaiki
kualitas produknya sehingga betul-betul bisa diterima pasar. Mungkin dalam
tataran ini lebih tepatnya “good
corporate governance” harus diterapkan oleh pemerintah bukan sebatas konsep
yang menghiasi seminar-seminar dan tercantum dalam laporan-laporan saja.
Jika komitmen itu terwujud, maka Pemerintah akan secara
serius mengelola pengaduan ini termasuk menyediakan sarana yang menunjang.
Kembali lagi ke swasta, Orientasi pihak swasta saat ini bukan hanya menangani
keluhan dalam arti pasif, mereka justru secara aktif menjaring keluhan atau
saran dari konsumennya. Bahkan untuk melakukan itu mereka rela harus
mengeluarkan sumberdaya finansial yang tidak sedikit, dalam beberapa contoh
mereka justru memberikan reward
khusus bagi konsumennya sebagai imbalan atas keluhan atau kritik yang disampaikan.
Begitu pentingnya posisi konsumen dimata swasta dalam perbaikan kualitas
produknya.
Kedua, aspek kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam
perbaikan layanan melalui penyampaian keluhan harus ditingkatkan. Berdasarkan
studi diatas, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat enggan menyampaikan
keluhan diantaranya adalah anggapan tidak berguna bagi pengadu, anggapan tidak
ada sarana, dan anggapan tidak akan ditindaklanjuti.
Oleh karena itu, jika pemerintah sudah berkomitmen untuk menjadikan
penanganan pengaduan sebagai kebutuhan (bukan kewajiban), maka selanjutnya PR
besar yang harus dilakukan pemerintah adalah menyediakan sarana dan sistem
prosdur yang memudahkan masyarakat.
Mungkin bagi pemerintah, dengan sumber daya yang besar,
menyediakan sarana pengaduan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, namun
menyediakan sarana yang tepat dan memudahkan masyarakat tentu perlu dikaji lagi.
Catatan kritis
terhadap praktek Penanganan pengaduan
Berdasarkan pengetahuan penulis, beberapa pemerintah/instansi
telah berinisiatif untuk melakukan penanganan pengaduan (nampaknya) secara
serius. Hal ini ditunjukan dengan beberapa sarana yang disediakan secara
khusus, yang tujuannya untuk mempermudah masyarakat dalam menyampaikan
pengaduan dan pemerintah untuk menangani pengaduan. Namun tidak semua sarana
efektif, contohnya di Pemerintah DKI Jakarta.
Media Penananganan pengaduan di Respon Opini Publik (ROP)
Pemerintah DKI Jakarta secara umum dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
aktif dan pasif. Aktif disni diartikan bahwa pemerintah provinsi DKI melakukan
penjaringan pengaduan secara aktif, dimana petugas melakukan pencarian keluhan
baik di koran/suratkabar, youtube, maupun berita-berita yang disampaikan
melalui televisi nasional , disinilah nampak komitmen Pemerintah DKI sejak
dipimpin oleh Jokowi/Ahok ini. hasil pencarian ini kemudian diinventarisasi dan
ditindaklanjuti secara serius.
Pendekatan lainnya adalah pasif, diartikan bahwa petugas
melakukan respon jika ada pengaduan masyarakat yang diterima melalui SMS, website, email dan
datang langsung ke sekretariat ROP. Singkatnya, jika ada pengaduan yang masuk
melalui media-media tersebut, baru petugas akan menindaklanjutinya. Namun
sayangnya, media yang digunakan masyarakat saat ini baru melalui SMS, sementara
media yang lainnya belum berfungsi secara maksimal.
Berdasarkan hasil diskusi dengan petugas yang khusus
menangani pengaduan, alasan minimnya yang masyarakat yang menggunakan website dimungkinkan oleh
keengganan masyarakat untuk menyampaikan identitas diri yang dipersyaratkan
oleh sistem ini. Padahal identitas diri
tersebut, menurut petugas, sangat
membantu dalam melakukan penangangan kasus yang diadukan.
Bahkan ketika petugas meminta klarifikasi identitas
kepada pengirim SMSpun, pengirim SMS rata-rata enggan memberikan keterangan dan
memilih untuk menghentikan kasus yang diadukannya.
Hal serupapun terjadi di Pemerintah Kabupaten Purwakarta,
yang memiliki Pusat Layanan Informasi dan pengaduan masyarakat. Sejak di-launching bulan juli 2013 yang lalu,
baru media sms yang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan jumlah rata-rata lebih
dari 50 SMS/per hari. Sementara aplikasi pengaduan yang ada pada www.plipmas.purwakartakab.go.id
belum termanfaatkan sama sekali. Tidak jauh dari DKI Jakarta, hal ini juga
dimungkinkan karena keengganan masyarakat untuk menunjukan identitas diri dan
terlapor yang notabene sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti pengaduan yang
disampaikan.
Keterbatasan pengaduan
via SMS
Memang, bagi masyarakat SMS merupakan media yang sangat
mudah digunakan, hampir semua orang saat ini memiliki Handphone yang bisa digunakan untuk SMS. Tanpa susah payah,
masyarakat dengan mudah bisa menyampaikan pengaduan atau sekedar opini kepada
pemerintah melalui SMS. Namun dari sisi pemerintah, media ini ternyata belum
sepenuhnya membantu menjelaskan secara persoalan yang diadukan oleh masyarakat.
Dengan jumlah 160 karakter, SMS sulit menjelaskan kasus-kasus tertentu
yang ingin disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah. Alhasil, pemerintah
harus menggali permasalahan tersebut dengan mengklarifikasi kepada pengirim sms
tersebut dengan menanyakan sekurang-kurangnya identitas pengadu, identitas yang
diadukan dan kronologis kejadian yang diadukan. Selain untuk kepentingan tindak
lanjut, langkah ini juga dilakukan untuk menjamin pengaduan yang disampaikan
melalui sms tersebut betul-betul terjadi.
Seperti yang disinggung diatas, berdasarkan pengalaman di
ROP DKI Jakarta, kebanyakan masyarakat pengirim SMS tersebut sulit untuk dimintai
klarifikasi. Dalam beberapa kasus bahkan mereka seolah meminta petugas untuk
membatalkan pengaduan yang disampaikannya dengan alasan tidak mau “berurusan”.
Penutup
Kesimpulan dari kasus di dua daerah tersebut menunjukan
masyarakat kita cenderung ragu atau segan untuk menyampaikan pengaduan secara
terbuka dan bertanggungjawab. Disisi lain keengganan ini pun harus ditanggapi
secara serius untuk dicarikan alternatif solusinya. Keadaan ini tidak untuk
mempersalahkan masyarakat namun menjadi tantangan untuk pemerintah
mensiasatinya secara kreatif.
Walaubagaimanapun, “masyarakat adalah pelanggan, dan
pelanggan adalah raja”, kata orang.
Bandung, 19092013-Ikbal
thanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
sama-sama :)
Hapus