Semakin hari isu pengadaan
semakin kompleks. ULP tidak hanya menghadapi
isu yang berkaitan dengan pemilihan penyedia saja. Lebih jauh dari itu
ULP menghadapi permasalahan yang melampaui kewenangannya khususnya yang selama
ini hanya terbatas dalam melaksanakan pemilihan penyedia saja. Misalnya, ULP
menghadapi permasalahan hukum atau bentuk persengketaan lainnya. ULP juga
menghadapi permasalahan ketidakmatangan proses perencanaan yang berdampak pada
rendahnya kualitas penyedia yang terpilih. Permasalahan lainnnya misal
tingginya intervensi, rendahnya kapasitas PA/KPA/PPK dan penyedia, jabatan
fungsional dan lain-lain. Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi berulang
pada setiap tahunnya.
Permasalahan yang terjadi secara
berulang pada setiap tahun tersebut terjadi di setiap K/L/D/I. kondisi ini
dapat dimengerti karena saat ini, setiap pihak yang terlibat pada setiap proses
pengadaan bekerja secara sendiri-sendiri tanpa ada pihak yang mengkoordinasikan
dan menjamin setiap pihak yang terlibat memiliki kapasitas/kapabilitas dalam
melaksanakan tugas/fungsinya. Sehingga perencanaan anggaran seringkali tidak
relevan dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan
perencanaan pengadaan. Begitu juga
rencana pengadaan yang dilakukan kerap tidak sesuai dengan kebutuhan
pelaksanaan pemilihan penyedia, sehingga berdampak pada kualitas penyedia yang tidak
mampu menyediakan barang/jasa sesuai harapan.
Revitalisasi Peran dan Fungsi ULP
Kondisi tersebut menuntut kinerja
ULP yang lebih profesional dengan perluasan peran sebagai quality assurance atau penjamin mutu kualitas pengadaan.
Konsekwensinya, ULP tidak hanya bertugas untuk melaksanakan kegiatan pemilihan
penyedia saja, melainkan jauh lebih dari itu, ULP harus berperan dalam
memastikan lingkungan pengadaan (PA/KPA/PPK, ULP dan Penyedia) memiliki
kompetensi dan kapasitas yang memadai dalam melaksanakan tanggungjawab dan
kewenangannya masing-masing. Konsekwensi lainnya ULP pun harus memastikan
setiap tahapan proses (perencanaan, pemilihan dan pelaksanaan pekerjaan) yang
kewenangannya terdistribusi pada beberapa pihak tersebut dilaksanakan dengan
baik sesuai dengan kebutuhan pengadaan dan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian proses perencanaan (pemaketan pekerjaan, nilai anggaran, kode rekening
anggaran dll) sesuai dengan kebutuhan proses pemilihan penyedia, dan
pelaksanaan pekerjaan, sehingga menghasilkan barang/jasa yang sesuai dengan
harapan. Hal ini menjadi penting mengingat, meskipun dari aspek kewenangan
proses setiap tahapan tersebut saat ini berada pada beberapa pihak, namun
kenyataannya kualitas proses perencanaan akan mempengaruhi terhadap kualitas
proses pemilihan. Begitupun kualitas pemilihan akan berbengaruh besar pada
kualitas penyedia yang pada akhirnya berdampak pada kualitas barang/jasa yang
dihasilkan. Dengan demikian, proses perencanaan, proses pemilihan penyedia dan
proses pelaksanaan pekerjaan merupakan proses yang wajib sinergi karena saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Disinilah letak peran penting ULP.
Hal penting lainnya adalah berkenaan
dengan perlindungan hukum dan pengelolaan sistem informasi pengadaan
barang/jasa. Perlindungan hukum menjadi sangat penting mengingat secara aktual
para pegiat pengadaan barang/jasa sangat rentan menghadapi sengketa bahkan
permasalahan hukum. Kondisi ini sedikit banyak telah menimbulkan keragu-raguan dan
gangguan psikologis bahkan ketakutan bagi para personel untuk aktif dibidang
pengadaan barang/jasa. Dalam konteks ini, ULP harus diperankan sebagai Liason officer jika ada
permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi PA/KPA/PPK dan personel ULP
berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa. ULP diberikan kewenangan untuk
berkoordinasi, mendampingi proses hukum bahkan memfasilitasi konsultan hukum.
Jauh lebih penting lagi adalah melakukan pencegahan timbulnya permasalahan
hukum dengan mengembangkan berbagai SOP, mekanisme dan kode etik. Pelibatan
ahli hukum juga dapat diperankan untuk memastikan dokumen kontrak dan dokumen
hukum lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menjawab kebutuhan
pemerintah.
Terakhir, pengelolaan
dokumen/informasi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa. Dengan adanya ULP,
diharapkan pengelolaan seluruh informasi/dokumen yang berkaitan dengan
pengadaan barang/jasa lebih terintegrasi, sehingga memudahkan dalam pengelolaan
termasuk melakukan analisa kondisi pengadaan barang/jasa di lingkup
kewenangannya. Dengan demikian, ULP dapat memberikan input kepada pengambil
kebijakan terkait dengan pembenahan kebijakan yang perlu dilakukan. Disisi lain
ULP juga dapat melakukan perencanaan kegiatan untuk tahun selanjutnya berbasis
data yang akurat, misalnya ULP dapat mengidentifikasi jenis pembinaan yang
diperlukan kepada PA/KPA/PPK berdasarkan analisis terhadap kekurangan
pengetahuan/kemampuan yang tergambar dari dokumen yang ada.
Pembenahan
Kelembagaan
Tingginya beban kerja ULP
tersebut menuntut organisasi yang permanen dan memiliki kapasitas yang memadai untuk
melaksanakan seluruh fungsinya. Dengan kata lain, ULP tidak boleh berbentuk ad-hoc. Menurut kajian LKPP (2013), ULP adhoc memiliki banyak kelemahan, yaitu rawan
pengaruh kepentingan dan intervensi; kemampuan dan kompetensi pelaksana
pengadaan sangat bervariasi; profesionalitas tidak terjamin dan tidak terukur; pelaksanaan
kurang fokus karena pelaksana masih merangkap jabatan/kegiatan lain; akumulasi
keahlian, pengalaman, dan keterampilan pelaksana tidak efektif; tidak ada
jaminan peningkatan karier di bidang PBJP; dan pengelolaan arsip, dokumentasi
serta informasi tidak dapat dilakukan dengan baik.
Secara konsep, komponen
organisasi ULP sekurang-kurangnya
terdiri dari struktur, fungsi dan sumber daya manusia yang akan menjalankan
organisasi. Struktur organisasi adalah bentuk pembagian pekerjaan, pengelompokan dan pengkoordinasian yang dilakukan
oleh setiap unsur organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama
tersebut merupakan representasi dari fungsi organisasi, yang menggambarkan
tugas dan peran organisasi dan masing-masing unsur organisasi tersebut. Dalam
konteks ULP, maka fungsi ULP adalah menjadi pelaksana sekaligus penanggungjawab
kegiatan pengadaan barang/jasa.
Komponen terakhir adalah
sumberdaya manusia yang bekerja secara terfokus dan terus menerus dalam melaksanakan
misi organisasi. Dalam kata lain, tingginya beban ULP yang tidak sekedar
melaksanakan kegiatan pemilihan penyedia an-sich
seperti yang telah diuraikan diatas, menuntut SDM yang penuh waktu dan
profesional.
Pengorganisasian ULP
di Daerah : Sekretariat Daerah atau Badan?
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan 2 tahun yang lalu merupakan
pengganti dari UU 32 tahun 2004. Dengan demikian seluruh peraturan turunannya
turut berganti pula termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 41/2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah yang diganti dengan Peraturan Pemerintah no 18
tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dengan demikian, maka pengorganisasian
perangkat daerah, harus mengacu pada peraturan-peraturan tersebut.
Bila merujuk pada ketentuan UU 23/2014, khususnya
pasal 219, telah memberikan kesempatan bagi daerah untuk membentuk Badan yang
didasarkan pada kebutuhan fungsi lain untuk menunjang urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian maka pengorganisasian ULP menjadi setingkat
Badan, sangat dimungkinan bila melihat ketentuan ini, karena Kompleksnya
kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh ULP pada dasarnya merupakan
bagian dari pelaksanaan fungsi penunjang urusan pemerintahan. Perdebatan
selanjutnya, apakah betul fungsi ULP merupakan fungsi penunjang (badan) dan
bukan fungsi sekretariat daerah?. Untuk menjawabnya, maka kita perlu
mengidentifikasi karakteristik ULP terlebih dahulu.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, terutama
dalam hal ini adalah Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan
Peraturan Kepala LKPP no 5 tahun 2012 tentang ULP, telah menjelaskan
karakteristik ULP. Secara sederhana, sekurang-kurangnya dapat disarikan kedalam
3 point utama, yaitu, pertama, bahwa
ULP dibentuk untuk menjamin agar pelaksanaan pengadaan lebih terpadu/
terintegrasi sesuai dengan tata nilai pengadaan, serta untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi KLDI. Dengan demikian
maka pembentukan ULP dimaksudkan untuk mengemban tanggungjawab yang luas, yang tidak
sekedar melaksanakan pemilihan penyedia saja. Kedua, Perpres 54/2010, khususnya pasal 14, menegaskan bahwa ULP harus
memberikan pelayanan/pembinaan pengadaan barang/jasa. Menurut ketentuan ini,
maka semakin menegaskan bahwa ULP wajib melakukan pembinaan untuk meningkatkan
kapasitas lingkungan pengadaan, baik itu kapasitas PA/KPA/PPK, maupun penyedia
barang/jasa. Dan terakhir, dalam
konteks ULP sebagai pelaksana pemilihan penyedia, maka hakikatnya ULP melakukan
proses evaluasi dan pengambilan keputusan yang pada dasarnya merupakan kebijakan
untuk memilih penyedia barang/jasa tertentu.
Sementara itu, merujuk pada PP 18/2016, maka karakteristik
Sekretariat Daerah dan Badan, dapat
digambarkan sebagai berikut:
Setda
|
Badan
|
Sekretariat
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas
membantu bupati/wali kota dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian
administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan
administratif. (pasal 29)
|
Badan
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas
membantu bupati/wali kota dalam melaksanakan fungsi penunjang Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota (pasal 46)
|
a. pengoordinasian
penyusunan kebijakan Daerah;
b. pengoordinasian pelaksanaan tugas satuan kerja Perangkat Daerah;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Daerah;
d. pelayanan
administratif dan pembinaan aparatur sipil negara pada instansi Daerah;
|
a. penyusunan
kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
b. pelaksanaan tugas dukungan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
c. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas dukungan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
d. pembinaan
teknis penyelenggaraan fungsi-fungsi penunjang Urusan Pemerintahan Daerah
sesuai dengan lingkup tugasnya;
|
Berdasarkan tabel diatas, Karakteristik fungsi unit
kerja pada Sekretariat Daerah tidak sesuai dengan karakteristik
fungsi ULP, dan memiliki kecenderungan lebih sesuai dengan karakteristik Badan. Ketidak sesuaian antara karakteristik
ULP dengan Sekretariat Daerah ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Sekretariat
Daerah memiliki karakteristik fungsi sebagai pengoordinasian penyusunan kebijakan Daerah; sementara
fungsi ULP tidak dalam kapasitas mengkoordinasikan kebijakan daerah melainkan melakukan
penyusunan kebijakan teknis pengadaan barang/jasa
b.
Sekretariat Daerah memiliki karakteristik fungsi
sebagai pengoordinasian pelaksanaan tugas satuan kerja Perangkat Daerah; sementara ULP tidak melaksanakan pengoordinasikan tugas satuan kerja
Perangkat Daerah melainkan berfungsi sebagai pelaksana tugas dukungan teknis pengadaan
barang/jasa.
c. Sekretariat
Daerah memiliki karakteristik fungsi dalam pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan daerah; sementara ULP tidak
melaksanakan fungsi dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan daerah melainkan berfungsi sebagai pemantauan, evaluasi,
dan pelaporan pelaksanaan tugas dukungan teknis pengadaan barang/jasa.
d. Sekretariat
Daerah memiliki karakteristik fungsi sebagai pelayanan
administratif dan pembinaan aparatur sipil negara pada instansi Daerah; sementara ULP
tidak melaksanakan fungsi fungsi administratif melainkan memberikan dukungan substantif
melalui pengadaan barang/jasa terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Perangkat
Daerah. Selain itu fungsi
pembinaan pada ULP mencakup pembinaan berkaitan dengan pengadaan barang/jasa
kepada pihak internal (PA/KPA, PPK, Pokja) dan eksternal (Penyedia Barang/Jasa)
tidak sesuai dengan fungsi
Sekretariat Daerah yang hanya melaksanakan pembinaan aparatur sipil negara pada
instansi daerah (internal) saja. Dengan
demikian maka ULP tidak dapat ditempatkan menjadi salah satu unit kerja
Sekretariat Daerah.
Penutup
Pembenahan ULP merupakan
tantangan terhadap kebutuhan aktual yang harus dijawab oleh semua pihak. Sekurang-kurangnya
ada tiga lembaga di Pemerintah pusat yang perlu duduk bersama dan bersinergi
dalam mengawal pembenahan ULP ini. LKPP, KemenDagri dan KemenPAN perlu
bersama-sama menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengakomodasi pengorganisasian
ULP tersebut, sekaligus sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Dalam Negeri
no 99 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP di lingkungan Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Melalui peraturan tersebut, nantinya semakin
mempermudah pemerintah daerah dalam membentuk dan menerapkan ULP di Daerahnya.
Selain itu, LKPP pun dapat segera
melakukan penyusunan/perubahan beberapa peraturan untuk mempertegas peran dan fungsi ULP, sehingga ULP daerah
memiliki landasan yang lebih operasional dalam melaksanana peran/fungsinya. Lebih ideal dan lebih strategis lagi, bila
LKPP dapat menerbitkan pedoman teknis yang terperinci yang salah satu bagiannya
memuat standar minimal ULP Kab/kota/provinsi. Selain dapat dijadikan alat ukur
kinerja ULP di daerah, pedoman ini juga akan mempermudah daerah untuk membangun
dan menerapkan ULP sesuai dengan yang dicita-citakan bersama. Dan tentunya
masih banyak lagi yang perlu dilakukan.
Namun lebih dari itu, perlu kita
sadari bahwa perubahan hanya dapat dilakukan bila setiap dari kita
memiliki kesamaan pandangan dan komitmen untuk menuju pengadaan barang/jasa
yang lebih baik. Dan ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama untuk
mewujudkannya.
Bdg, 210112016